BAB 39: MENJADI TUHAN

34.6K 5.9K 660
                                    

M E N J A D I

T U H A N

Beberapa hari belakangan ini bagaikan mimpi, bukan tipe mimpi menyenangkan di mana aku bisa bersenang-senang, melainkan mimpi yang sibuk, serba ruwet, dan tanpa belas kasih. Aku paham sekarang kenapa Ganesha terlihat seperti orang nge-fly hasil ngeganja setelah berhasil mendapatkan identitas oknum penyebar kunci jawaban Ujian Nasional. Semua berkas protokoler yang harus diurus ke Nusantara jumlahnya luar biasa. Ratusan laporan, surat resmi, lampiran-lampiran, dan berbagai tetekbengek lain harus kudu wajib diselesaikan dalam jangka waktu 3x24 jam alias tepat tiga hari setelah misi selesai. Seandainya kantong mataku bisa punya kantong mata, pasti tebalnya mengalahkan kantong mata bapak presiden.

Di tengah proses pengiriman berkas lewat faks, telingaku tiba-tiba mendengar bunyi pintu diketuk dengan keras. Aku terlonjak, hampir saja menjatuhkan tumpukan kertas yang sedang kupegang. Sengaja kubiarkan beberapa menit, ingin tahu apakah sosok yang mengetuk pintu itu petugas hotel atau bukan. Petugas hotel biasanya akan pergi setelah tiga menit didiamkan.

Sialnya, di menit keempat, pintu itu masih diketuk dengan intensitas yang sama, seolah berkata, "Saya tahu kamu ada di dalam, Sari!" Aku pun segera merapikan semua berkas dan menyimpannya ke dalam brankas. Kemudian kumasukkan pistol ke dalam karet celana, persis di pinggang. Sesampainya di pintu, aku mencoba mengintip lewat lubang kecil. Dua tamu tak diundang, keduanya pria dan masih muda, mungkin usia 20-an akhir. Pakaian mereka mirip gaya anak muda di pusat perbelanjaan: celana jins, kaos, jaket hoodie, sepatu kets. Di antara keduanya, yang terlihat sama persis hanya gaya rambut. Pendek satu senti tipikal anggota militer.

"Gratcheva Alexandra!" panggil salah satunya.

Aku terlonjak lagi. Mereka seakan tahu aku sedang mengintip.

Bukan itu saja yang ganjil, mereka juga memanggilku dengan nama Gratcheva. Bukan Sari. Dengan ragu kubuka pintu di depanku, sebelah tangan siap sedia meraih senjata di pinggang.

"Selamat malam, Nona Gratcheva. Anda diminta untuk hadir rapat segera. Silakan bawa barang yang Anda butuhkan," ujar pria yang mengenakan jaket abu-abu.

"Pulang?" tanyaku.

"Bukan."

Dahiku berkerut. Jemariku tegang, siap mengambil pistol kapan saja.

"Pariraksaka?" tanyaku, mencoba memastikan.

Pria yang mengenakan kaos hitam bergambar Nirvana mengangkat sebelah tangannya. Sebelum aku sempat menggapai pistol, tangan itu sudah menempelkan kain di wajahku. Semua mendadak gelap.

::: o :::

Dingin. Kakiku beku dan kaku. Tanganku kebas, seolah habis menopang beban berat berjam-jam. Kepalaku juga tak berhenti berdenyut. Pandangan yang menyambut mataku mengingatkanku akan bom kamar mandi dan teriakan minta tolong di kompleks pasar berbulan-bulan lalu: kursi panjang di kanan-kiri, jendela yang ditutup lapisan berwarna hitam serta dua pintu besi di bagian belakang.

Mirip mobil sekolah.

Aku melirik ke samping, mencari secercah petunjuk mengenai pengendara mobil ini. Yang kudapatkan hanya lantai besi abu-abu beku tempatku berbaring. Pantas saja aku kedinginan, derasnya hujan yang menghantam mobil rupanya bersekongkol dengan mesin pendingin untuk membuatku menggigil.

Aku berguling, mengangkat tubuh, dan bersandar di kursi. Tangan kananku menggosok kedua mata dengan kasar. Semut-semut menjalar di tangan yang lain akibat digunakan untuk menopang kepala terlalu lama. Entah sudah berapa lama aku tidak sadar.

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang