BAB 11: PENANTIAN TAK DINANTI

57.7K 8.9K 1.7K
                                    

P E N A N T I A N

T A K

D I N A N T I

Genap enam hari semenjak gencatan senjata disetujui. Dengan bangga, aku mengumumkan bahwa tubuh ini masih bernapas, meski tiap hari dibentak Leon dan Kak Vano. Ganesha juga untungnya masih hidup, meski tiap hari aku punya dorongan untuk menggantungnya di pohon tauge.

"Apa salah satu dari antara kalian berdua termasuk anak-anak yang pernah meretas situs Kominfo?" tanya Pak Say. Aku menggeleng. Daridulu IT bukan keahlianku, aku bisa sebatas standar kompetensi tetapi tidak pernah tertarik untuk mengembangkan kemampuan tersebut, kebalikan dari Ganesha yang langsung mengangguk dengan semangat. Kesimpulanku hari ini sudah bulat, Ganesha dulu suka menyerobot antrian manusia saat Tuhan membagi jatah. Demi hewan ternak Nusantara, aku belum menemukan aspek yang cowok itu tidak bisa. Dia cuma kalah elastis waktu kami dilatih merangkak melalui pipa ventilasi.

"Wah, kamu belum pernah coba, Sari? Keamanan IT di Indonesia termasuk yang paling mudah dibobol, lho. Situs pemerintahan enggak terkecuali."

Cengengesan, tersisa itu perisai terbaikku. "Hehe. Maaf ya, Pak."

"Saya maafkan. Coba, sekarang saya mau kalian meretas situs SMA XY Madiun. Edit salah satu artikel yang dipost." Mataku melirik Ganes. Cowok itu langsung sibuk dengan layar di depannya. Aku mengikuti, melakukan langkah yang pernah diajari Pak Say saat tingkat awal. Untuk tugas yang mudah seperti itu, ada berbagai opsi yang tersedia. Aku pun memilih untuk menembus keamanan di situs SMA XY dengan mengedit HTML dan JavaScript. Layar putih dengan paduan biru menyambut mataku, disertai foto-foto kegiatan sekolah langsung memenuhi situs. Di bawahnya, ada beberapa artikel dengan tajuk BERITA TERBARU. Aku mencari salah satu artikel yang paling tua dan mengetik beberapa kode di papan ketik. Begitu berhasil masuk, aku memindai artikel yang ada di layar dengan cepat. Bingung harus mengganti apa, aku pun memilih mengganti nama penulis dari dari Airlangga Bagastama menjadi Saiton Paling Ganteng dan menunjukkannya pada Pak Say.

Guru bernama Saiton itu memerhatikan layarku sepersekian detik. Kemudian aku langsung ditinggal, entah karena dia marah karena aku mencantumkan namanya, atau karena dia senang dipuji tampan.

"Oke, sudah, ya. Sekarang coba buka situs nilai sekolah. Pilih pelajaran IT, ubah nilai kalian naik satu angka." Bibirku membentuk cengiran kuda. Ini baru seru. baru seru. Meretas situs kami sendiri belum pernah diajarkan ataupun diperbolehkan sebelumnya. Aku dengan semangat mengetik alamat situs Nusantara di kolom alamat, seraya menunggu Pak Say selesai menjelaskan.

:::: o ::::

"Helloow gaeessssss! Gimana nih, udah siap belom sama kelas hari ini?!"

Aku melongo. Wanita paruh baya di hadapanku selalu mengajarkan kami tata krama, terutama aturan masyarakat yang berlaku tiap daerah. Harus sopan, harus sabar, beberapa daerah juga harus sungkan. Pokoknya dia bilang, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Beliau bisa menirukan budaya di kesultanan dengan sempurna, mengapa hari ini ia malah bertransformasi menjadi remaja kebelet gaul?

"Markindang kita belajar bahasa gawl ciwi-ciwi canci Ibukota. Unch, unch! Siapa yang udah nggak sabar?!"

Mulutku menganga, terbuka semakin lebar. Bukan saja Bu Restu tidak memakai blazer hitam andalannya, guru itu juga mengenakan ripped jeans yang bolong gede di lutut dan kaos hitam dengan tulisan KZL.

"Ibu kenapa?" Suara Ganesha, mewakili pertanyaan yang sama di kepalaku.

"Lol. Kenapa apanya, Beb?" Guru berumur dengan dua helai uban itu bertanya balik.

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang