S E R A N G G A
C O K E L A T
K E S A Y A N G A N
Bertahun-tahun terdaftar sebagai siswa di Sekolah Khusus Nusantara, baru hari ini aku merasa keren. Mau bahasa belajar daerah — serta memendam berbagai makian dalam hati karena sulitnya dialek masing-masing — ataupun mengurus segala macam hewan ternak tak membuatku merasa keren. Baru malam ini, dengan earpiece menempel erat di telinga dan beberapa teknologi mutakhir kiriman Nusantara, aku akhirnya merasa seperti agen intelijen di televisi: cakep, berbakat, punya sederet alat canggih yang siap sedia membantu misiku. Kurang apa lagi coba?
Sayang, perasaan itu tidak bertahan lama. Begitu suara Ganesha masuk, adrenalin langsung mengalir deras dalam pembuluh darah. Semua arogansi fana terusir jauh, dengan cepat digantikan oleh kewaspadaan tingkat tinggi. Remember Sari, you are born for this. You have your mother's blood.
"Ulangi, Scotch masuk. Semua sudah di posisi?"
Aku menyandarkan punggung pada tiang pembatas parkiran, memindahkan posisi kaki yang kram akibat berjongkok terlalu lama. Di antara mobil sedan berwarna merah dan SUV berwarna hitam, tubuhku tak akan bisa dilihat pegawai yang lalu lalang. Kecuali tentu saja, jika mereka pemilik dua mobil ini.
"Vodka sudah di posisi. Lanjutkan operasi, ganti," ucapku perlahan. Mataku mengawasi parkiran yang kini penuh. Hanya ada satu mobil yang lewat dalam lima menit terakhir. Tak aneh, mobil-mobil lain pasti sudah diarahkan untuk parkir di lantai atas, di mana masih ada ruang yang tersisa.
"Scotch berharap Vodka dapat bertindak kooperatif. Target berada di medan yang lebih berbahaya daripada Cilandak." Aku menahan godaan untuk berdecak. Sudah genap sepuluh kali Ganesha mengingatkan tentang hal yang sama. Egoku lama-lama sekarat kalau dia bersikeras untuk tetap bertingkah sebagai guru tua yang memarahi siswa didikannya yang nakal.
"Siap, Yang Mulia Scotch. Vodka akan berusaha kooperatif," jawabku datar, menyunggingkan senyum terbaikku meski sadar cowok itu tak bisa melihat.
Aku lantas berdiri, mengencangkan tas ransel yang menempel pada jaket kulit hitam. Dibaliknya ada setelan dengan warna yang tak kalah gelap.
Di sini, kantor pusat Djokomono Group terlihat seperti parkiran pada umumnya. Lantai abu-abu, tiang-tiang putih dengan huruf penanda blok parkiran, serta pipa-pipa yang dicat dengan warna serupa mendominasi pandangan. Mobil-mobil dengan plat B berjejer dengan rapi, beberapa terlihat mentereng terutama di deretan khusus direksi. Kakiku melangkah hingga tiba di depan pintu abu-abu dengan tombol di kanannya. Aku menekan tombol dengan lambang panah ke atas, menunggu.
"Lapor, V masuk ke fase satu."
Lift terbuka dengan dentingan. Di dalamnya kosong, hanya ada satu CCTV di pojok kanan, serta cermin dan ornamen dari kayu di dinding. Hidungku langsung disambut dengan pengharum ruangan berbau mahoni. Lantainya tertutup karpet merah tebal, kembali mengingatkanku bahwa gedung ini sesungguhnya adalah bangunan megah nan tinggi yang menjulang angkuh di tengah-tengah kawasan Sudirman Central Business District.
Tantangan berikutnya adalah berusaha tidak terlihat. Malam ini pengunjung ramai, lift yang kutumpangi sudah pasti akan berhenti di beberapa lantai, menerima tamu yang lain. Dengan jurus khas milenial, aku pun mengangkat ponsel, membuka aplikasi Instagram, dan berpura-pura menjadi manusia paling apatis di dunia. Ketakutan terbesarku ketika yang kebetulan masuk ke dalam adalah Nicholas, keluarganya, atau bahkan Nina dan keluarganya. Untung saja, aku berhasil sampai di lantai yang kutuju tanpa interupsi yang berarti. Di atas, aku langsung mempercepat langkahku menuju dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamuflase
Teen Fiction[Cerita ini akan tersedia gratis pada 15 April 2022] Sari, seorang siswi di sekolah khusus agen intelijen mengemban misi mengungkap dalang narkotika di Jakarta. Dibantu temannya Ganesha, mereka harus berpacu melawan organisasi rahasia dan menerima k...