K A M E R A
P E N G A W A S
B E R B I C A R A
Tanganku gemetar. Secarik kertas yang kupegang kini berbentuk gumpalan sampah. Suhu tubuhku naik turun tak karuan, padahal pendingin ruangan berfungsi dengan baik. Sementara dari kamar, terlihat Ganesha melangkah santai, laptopnya didekap di dada.
"Opo ta, nduk?" Dengan cuek, cowok itu mengambil majalah Go-Girl, membuka halamannya dan mulai membaca. Aku membanting tubuh di sebelah Ganesha. Tangan kiriku masih memegang kertas laknat dari buket bunga.
"Mati aku, Nes," desisku.
Ganesha mendongak, menoleh sedikit sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada majalah di meja. "Lho? Itu masih idup."
"Ih, serius sedikit kenapa, sih?"
Dasar cowok kurang peka. Padahal calon mata-mata.
"Kenapa? Jangan nangis. Tadi bukannya polisinya nggak ngapa-ngapain?"
Benar saja, aku merasakan mataku mulai panas. Kukedipkan cepat seraya menundukkan kepala. Ganesha, yang untungnya sudah cukup peka, mengambil bola putih yang kuulurkan padanya.
Tidak sampai satu menit, cowok itu sudah mengumpat, "Jancuk!" dengan logat arek Suroboyo yang sempurna.
"Ini dapet dari mana?" Wajahku masih mengarah ke lantai, menghindari tatapan tajam Ganesha.
Aku malu.
Semudah itu bagi seseorang di luar sana untuk mengenali identitas asliku. Agen intelijen macam apa? Identitas merupakan hal paling krusial. Identitas adalah faktor utama mengapa ada agen yang bisa menjadi presiden macam Putin dan ada agen yang hilang tanpa jelas rimbanya.
"Tadi ada yang kirim buket mawar," jawabku lirih.
Sunyi beberapa saat. Keheningannya memekakkan, membuat perasaanku semakin campur aduk. Aku menggigit bibir, gelisah. Keringat dingin mulai menetes di punggungku. Saat melirik Ganesha, kulihat matanya menerawang. Dahinya berkerut-kerut. "Menurutmu mungkin nggak kalau ini dari Nusantara?" tanyanya.
Aku menggeleng lemah, membayangkan Leon di balik meja hitam kelam. "Kemungkinannya kecil. Leon jarang pakai strategi kayak gini."
"Enggak ada yang mencurigakan?"
Aku menggeleng lagi. Tadi, petugas yang mampir adalah pria paruh baya dengan kulit sawo matang yang sering jaga pagi. Namanya Bowo. Aku dan Ganesha sudah memeriksa latar belakangnya jauh-jauh hari. Hasilnya nihil.
"Oke. Tenang dulu, ya. Kita lihat CCTV."
Ganesha lantas mengambil laptop mujarabnya. Dulu, dia pernah bercerita, dari sekian banyak keahlian siber, menyadap kamera pengawas adalah prinsip paling mendasar. Hampir semua tindakan kriminal yang terjadi di dalam gedung modern menggunakan rekaman CCTV sebagai bukti penegak hukum. Pun hampir semua pelaku kriminal yang profesional akan menyadap kamera pengawas untuk mencegah terciptanya bukti. Aku mengamati cowok itu memutar video yang terekam dari jam enam pagi hingga hingga sekarang. Wajahnya serius, sesekali menghentikan atau memperlambat rekaman sebelum kembali melanjutkan dengan kecepatan dua kali lipat dari normal.
"Kamu yakin nggak mau daftar Badan Siber dan Sandi Negara? Kamu jago banget loh, Nes," komentarku saat Ganesha menghentikan video lagi.
"Tertarik, sih. Tapi aku juga suka sensasi nyaris matinya intelijen yang ada di lapangan," balasnya santai seolah tidak sedang membicarakan kematian,.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamuflase
Teen Fiction[Cerita ini akan tersedia gratis pada 15 April 2022] Sari, seorang siswi di sekolah khusus agen intelijen mengemban misi mengungkap dalang narkotika di Jakarta. Dibantu temannya Ganesha, mereka harus berpacu melawan organisasi rahasia dan menerima k...