BAB 15: SALAM PERPISAHAN

51.9K 8.2K 558
                                    

S A L A M

P E R P I S A H A N

Gadis muda dengan rambut hitam sebahu melemparkan tatapan menantang. Dahinya tertutup poni yang ditata miring. Bibir pucatnya kini berwarna merah tua, bukan warna kesukaannya, melainkan warna yang dipilihkan untuknya. Baju gadis itu, yang tidak pernah jauh dari gambar kartun dan animasi, kini berbentuk kaos abu-abu tanpa lengan dengan tulisan kiss the boys and make them cry. Di atas kaos tanpa lengan, sebuah jaket kulit cokelat membalut kulit gadis itu. Sebagai pelengkap, celana panjang hitamnya dan dihiasi bolongan berbagai ukuran di tiap sisi, persis dengan celana Bu Restu. Berbicara tentang Bu Restu, wanita paruh baya itu baru saja menyerahkan dua kantong besar berisi pakaian yang terdiri dari kaos, celana, rok, dan gaun kepada gadis di cermin. Menurut beliau, baju-baju itu bisa dipakai selama enam bulan ke depan.

            Untuk hari terakhir, sekolah membebaskan aku dan Ganesha untuk melakukan apapun yang kami suka. Jujur, aku belum lihat cowok itu karena seharian diajak Bu Restu ke nyalon di kota. Bukan hanya aku yang dipesankan berbagai perawatan mahal seperti spa, massage dan hair mask, guruku itu juga memesan perlakuan yang sama untuk dirinya sendiri. Aku curiga sebenarnya Bu Restu melakukan itu bukan untuk memberikan dukungan moral seperti klaimnya, melainkan karena ia diam-diam kangen melakukan perawatan diri.

            Terasa absurd sebenarnya. Di kelas normal, guru adat dan budaya itu terkenal galak. Tidak segila Leon, tapi punya versinya sendiri. Empat minggu isolasi yang kulalui di Nusantara terlihat begitu nyata: kapan lagi aku bisa berbaring bersebelahan dengan Bu Restu mengenakan kemben untuk menikmati pijatan dari karyawan salon ternama? Belum lagi, guruku tiba-tiba mengaku kalau dia suka mendengarkan lagu-lagu K-pop. Aku cukup syok.

            Pulang dari acara di salon, aku pun mengecek ulang barang-barang yang telah kusiapkan. Untuk teknologi, sekolah hanya meminjamkan earpiece, dua jenis kamera pengintai, serta alat penyadap. Aplikasi khusus untuk meretas tidak diberikan, meski aku dan Ganesha memohon hingga duduk sujud. Mereka bilang, lisensinya punya sekolah dan kami tidak bisa menggunakan aplikasi itu tanpa pengawasan langsung dari staf sekolah. Artinya, jika guru kami tidak mendampingi, maka aplikasi meretas buatan Sekolah Khusus Nusantara haram bagi kami.

Semua barang penting kusimpan di satu kantong khusus yang dikunci dengan kode khusus. Kantong itu lalu kumasukkan ke dalam ransel. Setelah yakin semua barang di daftarku sudah tercoret, aku pun keluar dari kamar dan mengunci pintunya.

            Kakiku menyusuri aula dengan irama konstan. Sesampainya di gerbang belakang, aku mulai berlari, melewati perkebunan dan memasuki wilayah khusus peternakan sekolah. Dua minggu yang lalu, itu terakhir kali aku berada di sini, bersama Ganesha dan Tarendra. Tak lupa juga, kuda kecil yang temanku beri nama Sari. Namun, tujuanku kali ini bukan istal. Langkahku ringan di atas jalan setapak dari bebatuan, terus memutar hingga hidungku menangkap bau-bau familiar yang tidak menyenangkan.

            Sore hari begini, panas mentari tak lagi menusuk kulit. Aku memejamkan mata, menghirup udara segar dan menikmati sepoi-sepoi angin pepohonan. Biarlah aku mengabadikan memoriku dengan tenang. Masih ada dua jam yang tersisa sebelum Leon membawa kami ke antah berantah. Setelah itu, mungkin aku tidak akan bisa kembali lagi ke Nusantara.

Sesampainya di tujuan, tanganku langsung membuka pintu kayu cokelat yang tidak terkunci. Susunan papan persegi panjang itu merupakan satu-satunya pembatas antara aku dan anak-anak ayam berwarna kuning. Entah mengapa, hari ini jumlah mereka tampak lebih banyak dari biasanya. Apakah induk ayam mengadakan pesta seks ketika tak ada lagi siswa Nusantara yang mengganggu mereka, aku tidak tahu. Yang jelas, ayam-ayam di sekelilingku beruntung karena aku membawa sekantong penuh pakan ayam. Tadi, aku berniat meminta izin kepada salah satu petugas khusus untuk memberi pakan di sore hari. Bukannya interogasi seperti yang kuharapkan, yang justru kudapat adalah anggukan senang dan anjuran bernada antusias untuk melakukannya lagi.

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang