BAB 34: DOMINASI BUAYA DARAT

43.9K 6.9K 352
                                    

D O M I N A S I

B U A Y A

D A R A T

"Scotch masuk, target dan beberapa petinggi perusahaan memasuki pintu di sayap barat. Vodka diharap mempercepat aktivitasnya."

"Iya, bentar. Bikin alis tuh susah, tau," balasku tanpa sadar.

"Kamu aja yang kurang jago." Oh, Tuhan. Betapa aku ingin menyerang balik tuduhan tak pantas yang cowok itu lontarkan. Mentang-mentang alisnya setebal hutan hujan tropis dari lahir.

"Lapor, Vodka sudah selesai. Menunggu arahan berikutnya, ganti."

Aku menatap balik refleksiku di cermin. Lumayan lah. Perubahan warna kulit dari cerah menjadi cokelat tua dengan tan bubatan cukup membantu kamuflase yang hendak kulakukan. Sisanya aku lebih banyak mengandalkan bronzer untuk mengubah kontur wajahku. Kecuali bibir yang dipoles berwarna merah tua, semua bagian wajahku tampak berwarna cokelat alami.

"Ikuti target. Pintu ada di ujung lorong di sisi utara Anda."

Balasanku tertahan oleh suara pintu. Sosok perempuan dengan gaun panjang hitam tanpa lengan bergegas masuk ke dalam bilik. Dari belakang, gaun itu terlihat sopan dengan panjang menjuntai hingga telapak kaki dan kerah tinggi yang membalut leher. Namun dari depan, gaun itu kehilangan bahan sebesar V dari bawah leher hingga beberapa mili di atas pusar. Aku tadinya mau mengenakan gaun provokatif seperti itu, tapi agak khawatir juga karena ada kemungkinan warna tan spray yang kurang rata. Masih mending kulit belangku dikira karena panu, kalau dikira cokelat bohongan gimana?

Aku melangkah keluar, kembali disambut dengan interior minimalis yang dipadu dengan dekorasi putih-hitam-emas. Lorong yang dimaksud Ganesha berada tepat di samping kamar mandi. Berdasarkan denah yang kuhapal setengah mati kemarin, lorong itu buntu. Di sepanjang lorong, terdapat dua ruang rapat, satu ruangan khusus untuk dewan eksekutif serta satu ruang misterius dengan pintu khusus yang hanya bisa dimasuki orang-orang tertentu. Hebatnya, Nicholas adalah salah satunya.

"Ada berapa banyak di dalam?" tanyaku sambil berbisik.

"Enam. Masih ada dua yang mengantri. Saya yakin masih ada lagi yang akan masuk. Entah kenapa mereka semua masuk secara bergiliran, bukan serentak bergerombol."

Tanganku refleks mengambil ponsel dari tas kecil, berpura-pura mengirim pesan pada seseorang. Di langit, ada tiga kamera pengawas. Dengan kata lain, tidak ada titik buta di lorong berlantai kayu ini. Aku berjalan dengan lambat, masih mempertahankan posisi ponsel di tangan. Kakiku berhenti di samping pot besar yang menampung sebuah tanaman hijau. Barisan pria dan wanita memasuki pintu secara bergantian setelah memasukan kode khusus, mencocokkan sidik jari dan memindai retina. Aku sadar tak ada peluang bagiku maupun Ganesha untuk meretas pintu seperti itu dengan persiapan sekilat kemarin.

Perlahan tapi pasti, kumasukkan kembali ponselku ke dalam tas. Aku menarik napas, berpikir keras. Saat menyusun rencana untuk menyusup ke gedung perusahaan Djokomono, aku tidak mempersiapkan diri untuk pertemuan rahasia ini. Semula kerangka yang kubuat terbilang sederhana: masuk ke dalam, menempelkan alat perekam khusus ke tokoh sentral, meretas data internal di gedung direksi, lalu pergi tanpa jejak. Menyamar sepanjang acara sebagai salah satu tamu undangan sangat berisiko. Terbukti dari pengamatanku saat menyamar menjadi pelayan, sebagian besar pengaturan tempat duduk disusun berdasarkan jabatan dan atau kekerabatan. Tiap tamu di meja saling mengenal satu sama lain dan datang menggantikan tamu yang berhalangan merupakan opsi mustahil.

"V masuk ke fase tiga B. Alihkan surveilans." Fase 3B dari fase 3. Sebuah kode yang digunakan saat aksi tidak sesuai dengan rencana awal.

"Permintaan diterima. You're clear to go, V."

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang