BAB 17: USAHA MENUJU NORMAL

48.9K 8.2K 604
                                    

U S A H A

M E N U J U

N O R M A L

Secara teknis, aku baru resmi bergabung menjadi murid baru selama dua hari. Namun aku merasa perkembanganku terlalu lambat, yang kudapatkan selama satu jam berkumpul di restoran bakar-bakaran hanya catatan mental. Itu pun bersifat subjektif, semata-mata berdasarkan pengamatan superfisial.

            Nicholas supel dan karismatik. Ia bisa mencairkan suasana tanpa kesulitan, dan hampir semua yang mengenalnya tidak punya alasan untuk membenci cowok itu, kecuali kalau mereka iri. Memang, kesan pertamanya adalah brengsek dan tukang menggoda. Tapi cowok itu punya kekuatan untuk mengendalikan massa, meyakinkan orang lain akan kalimat yang keluar dari mulutnya. Ganesha, seandainya bukan seorang jenius kelewat serius, juga merupakan tipe serupa.

Lalu ada Keranu, yang ternyata tidak seseram di profil media sosialnya. Cowok itu lebih banyak diam, hanya sesekali melontarkan lelucon sarkasme yang membuat satu meja tertawa. Ada tato kecil bergambar tengkorak berbunga di bahunya. Kelakuan penuh dosa dan melanggar aturan yang sengaja ia pamerkan kemana-mana, menciptakan kesan bahwa ia berusaha keluar dari penjara yang ia ciptakan sendiri. Sisanya ada Ghaniyu dan Ramaditio. Tidak terlalu menonjol, terlihat lebih mengikuti arus. Ghani sibuk dengan ponselnya sambil senyum-senyum sendiri. Sedangkan Tio memfokuskan perhatiannya pada satu dari tiga cewek di gerombolan ini.

Tatjana, cewek pertama, merupakan sosok yang heboh. Semua hal ia ceritakan, mulai dari kekonyolan keluarganya, pacarnya, hingga ia sendiri. Sejauh ini yang paling aneh adalah cerita tentang mantannya yang hobi mengupil dengan jempol. Kemudian, ada kembar identik dengan nama Delia dan Delilah. Awalnya aku tidak bisa membedakan mereka, tapi lama-kelamaan Lilah terlihat tidak bisa berhenti menggesek-gesekkan badannya ke Tio, seperti kucing peliharaan di rumahku kalau aku pulang.

Aku merasa seperti penyusup. Orang asing. Dari tadi, kerjaanku sebatas meladeni pertanyaan penasaran semua orang, terutama Nicholas dan Tatjana. Kursi di antara Nicholas dan Keranu sebenarnya adalah tempat yang sempurna, seandainya aku tidak harus menahan semburan asap rokok yang nyaris membuat paru-paruku merespons seperti orang tersedak sambal. Lahar dingin sekolah aku tahan. Kalau asap rokok, mohon maaf saja.

"No. It's not like that. I understand most of the sentences, but it's hard for me to form my own. Get what I mean? I've heard my Mom speaking in Bahasa quite a lot, but I rarely have to reply in that language," jawabku sebelum melahap potongan domba yang sudah dibakar dan dibumbui.

Pertama kali aku mendengar kata Mouton, kukira Nicholas mengajakku ke restoran Prancis. Mouton berarti kulit domba dalam Bahas Prancis. Ternyata, maksudnya adalah restoran bakar-bakaran di Gandaria, Jakarta Selatan. Bagian dalam restoran tampak sederhana, kursi kayu panjang dan meja yang sama panjangnya. Di tengah ada bolongan untuk meletakkan alat bakaran. Sebagai siswa Nusantara dengan didikan ala sekolah militer, aku menolak menciptakan karakter perempuan yang hanya paham makan-makan cantik. Begitu kaki domba utuh sampai di meja kami, aku salah satu yang paling semangat memotong dagingnya, nyaris membuat panggangannya jatuh menimpa kami semua. Kesempatan untuk menyalurkan jiwa barbar yang terpendam akibat diwajibkan menjadi perempuan bule cakep yang tidak mahir berbahasa Indonesia tidak boleh dilewatkan dengan sia-sia.

"Tapi kamu nggak tau artinya cantik?" tanya Nicholas.

"Do you know those moments when you understand the meaning of the sentences even though there are some words that you don't know? That's how I get by with Bahasa. I knew that's a compliment, but I forgot the exact meaning of cantik. And I was just trying to get to know you, I guess?" balasku refleks tanpa berpikir.

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang