P E S T A
U N T U K
T A T J A N A
Pestanya meriah. Tipikal. Ruangan dilengkapi panggung yang telah didekorasi dengan cantik, meja dihias dan disertakan nama masing-masing tamu undangan, makanannya enak dan bisa diambil sepuasnya, acara disusun agar ramai dan diselipkan sesi khusus dari keluarga inti. Keluarga intinya pun tipikal keluarga kaya raya di ibukota. Aku mengenali wajah ayahnya sebagai salah satu pebisnis sukses tanah air yang juga merangkap sebagai politisi aktif. Ibunya cantik, terlihat eksotis, tubuhnya terawat meski sudah berumur. Seingatku, ibunya mantan model dan kini mencoba peruntungan di dunia kosmetik. Kemudian ada satu kakak perempuan yang wajahnya tidak mirip Nina. Putih, bulat, dan terkesan lebih muda dari cewek itu.
Di tengah acara Nina menangis terharu, aku sebagai Eva menyempatkan untuk memeluknya, bergantian dengan teman-teman dekatnya yang lain baik dari SMAN 116 Jakarta maupun dari sekolah lain. Lalu sebagai penutup, semua berfoto-foto cantik dibantu dengan fotografer khusus. Saat sesi foto lewat, barulah aku merasakan antisipasi mengalir di dalam darah. Akhirnya sampai juga ke pokok acara. Hari ini yang penting bukan acara ulang tahun, transaksi narkoba tidak ada di sana. Yang aku dan Ganesha tunggu-tunggu adalah after party-nya.
Berempat, kami berangkat menuju sebuah klub malam yang tak jauh letaknya. Aku senang akhirnya tidak harus berduaan dengan Nicholas. Lebih enak mendengarkan, daripada harus menjadi bule yang tidak fasih dengan bahasa lokal.
"Iya, tuh! Adek gue juga di rumah main Tik Tok mulu. Sebel banget gue," keluh Nicholas disela-sela kesibukannya menyetir.
"Adek lo si Karen itu? Dia bukannya masih SD? Wajar, kali. Kan wabahnya anak SD."
"Iya, wajar sih wajar. Tapi enggak maksa gue nemenin ikut acara meet and greet artis Tik Tok juga."
Kini, pembelaan terhadap sosok Karen berubah menjadi cekikikan geli penumpang di belakang. "Serius lo?"
"Ko Nicho, liat deh keren banget kan kolabnya!" Suara Nicholas naik beberapa oktaf, terdengar lebih cempreng dari rata-rata kaum hawa.
"Emang keren kan, Ko?" ledek Tio.
"Oh jelas! Tapi maaf Koko bukan homo, tuh." Komentar sarkastis cowok itu langsung disambut dengan gelak tawa dari belakang.
"Agak ekstrim ya, lo," timpal Lia.
"Ekstrim apaan? Coba lo jadi gue, dengerin dia mainan Tik Tok tiap hari." Nicholas menarik napas dengan dramatis. "Ih, lucu banget mereka kolab! Ko, liat ini, deh! Ganteng banget, ya!" Nada suaranya kembali meninggi.
Aku ikut tertawa bersama yang lain. Selain Nina, tidak ada dari kami yang berganti baju. Cewek itu tadinya mengenakan gaun putih satu lengan dengan rok lebar, aksen emas memperindah bagian pinggang dan lengannya. Gaun mewahnya tampak kontras dibandingkan kode busana hitam-emas tamu undangan. Terutama saat berjalan, cewek itu seakan seorang reinkarnasi bangsawan Yunani.
"Kamu punya adik?" tanyaku basa-basi. Aku tahu Nicholas punya adik, tapi aku baru tahu ternyata hubungan mereka sedekat itu. Sebelumnya ia tidak pernah membicarakan tentang adiknya. Satu-satunya momen jujur mengenai keluarganya adalah ketika dia mabuk di Fabel kemarin dan menghabiskan lima menit penuh untuk memaki kedua orang tuanya.
"Iya. Namanya Karenina."
"You're close with her?"
"Ya, gitu deh. Kamu harus ketemu kapan-kapan. Udah kelas empat, tapi masih lucu."
"Waduh, udah siap dikenalin ke keluarga, Bos?" sindir Tio. Nicholas mengacungkan jari tengahnya. Aku memandang keluar jendela, berpura-pura tidak paham. Perhatianku teralihkan sepenuhnya oleh getaran ponsel di dalam tas. Hanya satu orang yang punya alasan untuk menghubungi ponsel jadul pinjaman Nusantara. Pesan yang dikirim juga hanya punya satu arti: saatnya jadi mata-mata sesungguhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamuflase
Teen Fiction[Cerita ini akan tersedia gratis pada 15 April 2022] Sari, seorang siswi di sekolah khusus agen intelijen mengemban misi mengungkap dalang narkotika di Jakarta. Dibantu temannya Ganesha, mereka harus berpacu melawan organisasi rahasia dan menerima k...