BAB 1: SEKOLAH KANDANG AYAM

270K 20.1K 2.5K
                                    

S E K O L A H

K A N D A N G

A Y A M

"Sari! Buruan!"

Sumpah serapah keluar dari mulutku. Keringat yang menetes dari kening kuseka dengan kasar. Bau ini. Bau inilah penyebabnya. Mereka kira, enam tahun aku mengabdi pada makhluk-makhluk ini akan membuatku terbiasa. Nyatanya tidak. Perutku tetap melilit. Kepalaku tetap joget jumpalitan layaknya penonton musik metal.

"Buruan, Sar! Aku mau jajan!"

Mataku membelalak. Dia masih mau jajan sehabis mengerjakan tugas semacam ini? Apa dia gila?

Petok!

Sontak aku tuang isi kantong terakhir. Makhluk-makhluk berbulu kuning tipis itu segera mengerubungi makanan mereka. Aku menyeka keringatku lagi. Walaupun ruangan ini tidak sepengap tempat sauna, baunya cukup untuk membuatku berkeringat layaknya orang obesitas yang baru saja lari maraton.

Sungguh, aku bukan pegiat hiperbola. Memang tempat ini setidakbersahabat itu dengan lambungku. Aku punya penyakit maag akut yang selalu kambuh tiap mencium bau-bau kurang menyenangkan. Ayam-ayam jarang mandi ini salah satu contohnya.

Beruntung, kali ini jatahku adalah ayam. Bukan sapi dan kambing yang ada di belakang sekolah. Kalau sudah sapi dan kambing, mungkin saat ini aku sudah sibuk menutup hidung sambil menangis. Sementara binatang-binatang itu akan mentertawakanku dengan mbek-mbekan dan emo-emoan mereka.

"Iya, iya! Ini udah selesai kok!" balasku pada Stella, temanku yang juga bertugas memberi pakan ayam hari ini.

Berbeda dengan sekolah kebanyakan, sekolahku mempunyai peternakan sendiri. Dan berbeda dengan peternakan kebanyakan, peternakan di sekolahku tidak punya peternak — alias orang yang ngurusin binatang-binatang jarang mandi itu. Mereka hanya punya siswa, yang tentu saja bertugas menggantikan peternak.

Kata mereka, semua siswa di sini harus bisa mengurus hewan ternak. Karena suatu hari nanti, kami harus bertugas di pedalaman. Kami harus bisa menyamar menjadi penduduk desa. Yang aku kurang setuju, kenapa harus beternak? Kenapa bukan bertani? Orang desa juga jago bertani, kan? Lagipula, bertani jauh lebih bersahabat dengan hidung daripada beternak.

"Ayo. Aku laper banget, Sar. Tadi pagi kesiangan jadi nggak sempet makan. Udah gitu pake lari dikejar anjing lagi." Cewek berambut sebahu itu menarik lenganku. Kakinya yang jenjang melangkah lebar-lebar menuju pintu keluar.

Kesalahan besar kalau mengira omongan Stella barusan sebatas kiasan.

Lari dikejar anjing memang salah satu bagian dari pelatihan kami. Sekolah kami kreatif dan ekonomis — bisa dibuktikan dari pemanfaatan tenaga siswa untuk berternak — sehingga kurang logis rasanya kalau mereka bersedia menyediakan alat lari di tempat lebih banyak dari yang ada di tempat fitness langganan selebritis. Ujung-ujungnya, anjing herder warna coklat hitamlah yang jadi pengganti treadmill.

Sekolahku benar-benar mengerti pepatah, "Tak ada rotan, akar pun jadi."

Selain belajar jadi peternak dan lari dikejar anjing, siswa-siswa di sekolah ini juga harus belajar bahasa daerah. Bukan, tentu bukan ujian bahasa daerah di atas kertas. Sekolah menekankan kami untuk belajar mengucapkan dan melafalkan 74 bahasa daerah lengkap dengan logat tiap-tiap bahasa. Yang perlu dibayangkan bukan dua siswa mengobrol dengan Jawa ngoko dan Jawa ngapak. Bayangkan dua siswa yang mengobrol seperti ini:

"Eh, kowe! Suwi rak ketok. Piye kabhare, Sar?" (Jawa Ngoko: Eh, kamu! Lama enggak liat. Apa kabar, Sar?)

"Sa pu kabar baik. Kalo ko?" (Papua: Kabarku baik. Kabar kamu?)

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang