B E R A D U
B O D O H
"Tadi udah bagus, sih. Nanti dihapalin lagi teksnya, ya. Latian terakhir, nih."
Pendingin ruangan dengan suhu delapan belas derajat selsius tak kuasa membendung keringat yang bergerumul. Tetesannya berselancar perlahan dari dahi hingga jatuh ke karpet bermotif etnik. Aku mengelapnya kasar dengan lengan kemeja, menunggu aba-aba Nina selanjutnya. Dari semua pemain drama Snow White, Nina seolah paling semangat berperan ganda. Hilir berganti dari ibu tiri jahat menjadi sutradara yang banyak maunya.
"Mau ngulang lagi?" tanya Udin.
Aku mendengar erangan kompak pemain lain. Padahal, bukan mereka yang punya naskah paling panjang. Pun bukan pula mereka yang harus siap sedia dari adegan awal sampai akhir. Ambisi Nina yang diamini oleh seluruh anggota kelompok merupakan akibat dari janji Pak Satria untuk mentraktir kelompok terbaik di salah satu restoran all you can eat ternama.
"Enggak, ah! Makan dulu, yuk!
"Iya ayo makan! Gue laper banget."
Mendengar kata makan, perutku bergejolak. Bukan karena lapar, justru sebaliknya. Membayangkan makanan membuatku mual. Ditambah lagi, kepalaku belum berhenti berteriak, menuntut haknya untuk diistirahatkan. Semua merupakan buntut dari kegiatan bersih-bersih warna kulit yang menghabiskan dua pertiga malamku. Kemudian, kafein dan rasa penasaran seakan bersekongkol untuk menjerumuskanku ke bagian terlarang dari Deep Web. Belum selesai membaca mengenai Societas Visionaria, alarm di ponselku sudah berbunyi, menandakan waktu untuk mandi.
"Mau pesen apa?"
Meski bukan rekor terlamaku, hari ini mungkin edisi begadangku yang paling melelahkan. Terlalu banyak energi yang dikeluarkan dalam tiga puluh enam jam terakhir. Jam di dinding rumah Nicholas baru menunjuk angka lima, tapi tubuhku rasanya sudah terbang melayang entah ke negeri mana.
"McD?"
"Bosen, ah."
"Yoshinoya?"
"PHD aja."
Dan terus begitu percakapan mereka sampai jatuh di pilihan awal. Aku menekan dorongan untuk menguap, efeknya malah jadi terbatuk-batuk. Begitu sibuknya pemain Snow White memilih menu di aplikasi ojek daring, tak satupun menyadari suara batukku yang mirip pasien penyakit kronis. Hanya Salsha yang menoleh ke arahku.
"Kenapa, Va?"
"Nah, I'm good. Aku ke kamar mandi dulu, ya."
Kubuka salah satu tas ransel yang tersusun di sofa ruang tamu Nicholas. Tanganku menjelajah di antara tumpukan buku, mengambil ponsel dan beberapa barang yang kuperlukan. Lantas kumasukkan barang-barang tersebut ke dalam kantong rok abu-abu yang belum kuganti dari tadi pagi. Sambil mengikat rambut, aku berjalan menuju kamar mandi. Begitu sampai di dalam, perutku kembali berulah. Aku bergegas membuka tutup kloset, mengeluarkan sisa-sisa cairan kafein dengan paksa. Refleks ekspulsi dari lambungku baru berhenti ketika akhirnya aku memuntahkan cairan bening kekuningan yang pahit.
Setelah selesai, aku berkumur dan memperhatikan refleksiku lewat cermin. Rasa lelah yang melandaku tertutupi oleh taburan bedak dan bahan kimia lain yang melapisi wajah. Garis hitam dan kantong mataku juga tak kasat mata. Hanya senyumku yang terlihat sedikit berbeda. Kurang ikhlas, tidak mirip senyum pasta gigi yang umumnya kuberikan kepada semua orang.
Aku menggosok mataku dengan kasar, berusaha menghilangkan rasa kantuk yang ada. Kubuka kembali ponselku, memastikan baterainya cukup. Sesudah satu tarikan napas dalam, aku keluar dari kamar mandi dan berjalan ke belakang. Tak lama, kakiku mulai menjajaki tangga memutar dari besi yang terletak di bagian belakang rumah Nicholas. Aku berjinjit, berhati-hati agar tak menimbulkan suara sepercikpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamuflase
Teen Fiction[Cerita ini akan tersedia gratis pada 15 April 2022] Sari, seorang siswi di sekolah khusus agen intelijen mengemban misi mengungkap dalang narkotika di Jakarta. Dibantu temannya Ganesha, mereka harus berpacu melawan organisasi rahasia dan menerima k...