BAB 26: SATU BUKET MAWAR

42.5K 7.3K 895
                                    

S A T U

B U K E T

M A W A R

Tugas di sini harusnya sederhana. Menyamar jadi murid pindahan, cari bukti, balik ke Nusantara. Seandainya tidak ada yang meninggal dan semua petunjuk mengarah ke aku, harusnya cukup begitu.

TOK! TOK! TOK!

Aku melangkah cepat ke pintu depan. Ganesha, sebaliknya, sudah menghilang di balik pintu kamar.

"Nona Gratcheva?"

Di hadapanku berdiri dua orang berseragam kelabu. Yang satu tinggi semampai dengan rambut klimis, yang satu lagi botak dengan perut menonjol. Aku melangkah mundur, membuka pintu sedikit lebih lebar.

"Ya, saya. Ada apa?" Mataku tertantang untuk menatap mereka berdua tepat di bola mata. Takut boleh, bodoh jangan. Aku cukup paham prosedur pemeriksaan polisi. Kalau mereka datang untuk menahanku, detik ini tanganku sudah diikat besi.

"Kami butuh berbicara dengan Anda. Boleh minta waktunya sebentar?" balas si Botak.

Aku menarik pintu hingga tak bisa dibuka lagi. Mereka berdua masuk, yang botak mendahului. Dadaku berdegup kencang mengamati kedua polisi itu. Mereka tidak mungkin meminta penggeledahan apartemen tanpa surat perintah, kan?

Langkah kaki mengantarkan kami pada ruang tamu dengan satu meja dan tiga sofa. Laptop abu-abu kebanggaan Ganes hilang, digantikan tumpukan majalah mode beberapa terbuka secara acak. Ingin aku mengelus dada dengan bangga. Ganesha ternyata lebih sigap dariku. Ia masih sempat menukar berkas operasi kami dengan majalah Go-Girl dan Gadis. Untung bukan majalah Playboy.

Kedua polisi itu duduk tanpa kupersilakan. Aku mengambil sofa kecil yang terletak persis di depan mereka.

"Ada apa?" tanyaku, kental dengan aksen Amerika.

"Perkenalkan saya Janur dan ini teman saya Kuning." Polisi yang klimis mengisyaratkan tangannya ke arah yang botak. Kemudian mereka menyalami tanganku.

"Saya Eva, but I'm sure you already know that," ucapku, mengulum senyum tipis.

Pak Kuning berdeham. "Kami ada beberapa pertanyaan terkait aktivitas saudara hari Jumat malam dan Sabtu pagi. Apakah saudara bersedia?"

"Go on."

"Apakah benar, kemarin malam dari pukul sebelas hingga empat pagi saudara Gratcheva menghadiri klab malam Jenja di Cilandak Town Square, bersamaan dengan saudara Keranu?"

Aku menautkan alis. Berlagak bingung atau berlagak bodoh, dua-duanya cukup aman. "Yes. Yes, I did," jawabku dengan anggukan pelan.

"Apakah benar, saudara merupakan teman satu kelas Keranu Novaldi?" tanya si botak dengan nada monoton. Aku menjawab ya. Sekilas kulihat Pak Kuning serius memerhatikan raut wajahku sambil sesekali mencatat sesuatu di dalam buku kecil yang ia bawa.

Ayo, cari tanda-tanda bohongku, Pak Polisi. Gerakan kepala, ritme napas, menyentuh bibir atau leher dengan tangan, menggerakan kaki, menahan berkedip atau berkedip berlebihan, serta gestur kecil lainnya. Cari, Pak Polisi. Cari. Anda pasti tahu berbohong adalah keterampilan yang harus dilatih secara serius selama bertahun-tahun kecuali pada psikopat dan orang dengan gangguan mental.

"Apakah selama di Jenja, Anda selalu bersama dengan saudara Keranu?"

Pandanganku menerawang, berpura-pura mengingat. "Nope. Saya bersama Nicholas di meja dari awal sampai akhir. Except around two to three a.m — jam dua dan jam tiga—in the morning when I was out on the dance floor," tuturku, meletakan kedua tanganku di lutut.

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang