K I T A B
H U K U M
P I D A N A
Sudah menjadi kebiasaan tersendiri bagiku untuk membuntuti siswa-siswa yang kujadikan target. Di kelas, ada Nina dan Nicholas. Jika beruntung, aku juga kadang menguntit target-target yang lain. Rutinitas itu selalu kulakukan di waktu-waktu strategis, ketika kelas sedang ramai, atau ketika sedang ujian, atau ketika sudah waktu jam pulang. Untuk Nina dan Nicholas, aku paling sering mengikuti mereka kabur di jam kelas. Meski tidak persis keluar ketika mereka melangkah keluar, karena tentunya akan menimbulkan kecurigaan.
Idealnya, aku akan menunggu lima menit, barulah pergi dan mengendap-endap di belakang mereka. Siang ini contohnya. Nicholas tetiba keluar kelas ketika guru Geografi kami keluar untuk mengangkat telepon. Mataku menangkap pergerakan tangannya ke kantong, tempat cowok itu biasa menyimpan alat pemantik. Sekali lihat, orang awam pun akan paham, cowok itu hendak kembali bercumbu dengan batang paling membunuh sedunia.
Rokok dan anak sekolah sudah menjadi pasangan yang begitu lazim, bahkan tak ada lagi yang merasa miris melihatnya. Mau kota, mau desa, kelakuan bakar uang demi selinting tembakau sama saja, diturunkan dari generasi ke generasi.
Aku berjalan menyusuri tangga, mencuri pandang ke arah kamera pengawas. Jejak Nicholas sudah hilang sama sekali. Namun, tak perlu mengendus batang hidungnya pun, aku tahu persis ke mana tujuan cowok itu. Jenis murid yang hobi kabur dari kelas, entah untuk mengoleksi foto nongkrong di Instagram, ngerokok, hingga menggrepe-grepe teman beda kelamin, pasti bisa ditemukan di sana.
Nicholas biasanya ke tempat itu tiap Rabu, pukul dua siang, tepat di pelajaran Geografi. Sedangkan dua murid berbeda kelamin lebih mudah ditemukan saat jam sekolah sudah lewat. Tergantung keberuntungan, kadang aku juga bisa menemukan grepe-grepe lawan main sesama jenis.
Bagai laboratorium khusus eksperimen kenakalan remaja, sudut terbengkalai itu amat terkenal dari angkatan ke angkatan. Aku yakin beberapa guru pun sadar. Anehnya, tak pernah ada guru yang menggrebek, melakukan razia, atau mengirim orang saleh untuk merukiyah tempat itu. Bau asapnya tak kalah berbeda dengan knalpot mobil butut tak lulus uji emisi. Rasanya seperti masuk ke ladang ranjau berisi nikotin. Lalu, tumpukan debunya hampir-hampir menyaingi kemegahan Candi Borobudur, selalu menantangku untuk ikut uji nyali hidung. Siapa bersin duluan, dia kalah.
"Lo nggak kenapa-kenapa, kan?"
Benar, kan. Dugaanku sama sekali tidak meleset. Aku refleks berjongkok di balik meja kayu, didampingi debu yang tebalnya menandingin Gurun Sahara.
"Menurut lo?" Alisku terangkat. Lawan bicaranya Ken.
Kebisuan menyelimuti kedua target selama beberapa saat. Mataku menangkap siluet Nicholas, berdiri bersandar dengan kedua lengan menyilang di dada. Di seberangnya, Keranu berjongkok dengan batang rokok di antara dua jari. Tangannya yang satu lagi mengangkat ponsel setinggi muka, tampak serius memerhatikan tulisan di layar.
"Pasal 49 KUHP," mulainya, berdeham pelan, "'ayat satu: 'Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.' Ayat dua: Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.'"
"Jadi lo bebas?"
"Bokap gue bakal pake pasal 49 KUHP."
Dahiku berkerut berlapis-lapis. Tidak mungkin mereka membicarakan perihal selain kematian Agus Sutrisno di Jenja. Aku sudah tahu kalau Keranu pasti dibebaskan. Namun, mendengar kepastiannya secara langsung tetap memberikan sensasi yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamuflase
Teen Fiction[Cerita ini akan tersedia gratis pada 15 April 2022] Sari, seorang siswi di sekolah khusus agen intelijen mengemban misi mengungkap dalang narkotika di Jakarta. Dibantu temannya Ganesha, mereka harus berpacu melawan organisasi rahasia dan menerima k...