BAB 6: TITIK BALIK TIRTO

72.7K 10.5K 673
                                    

T I T I K

B A L I K

T I R T O

"Ada cap di bagian bawah halaman. Tapi menurutku, petunjuknya ada di paragraf itu. Tokohnya bahas obat herbal, makanya tadi aku ke kliniknya Jeng Anu. Terus aku dikasih ini sama penjaganya." Cowok itu merogoh kantongnya.

Sejujurnya teman seperti Joshua dan Raka yang bak alien dari galaksi lain membuatku bingung mengapa sekolah menobatkanku sebagai juara kelas. Jenius, aku jelas kalah sama mereka. Atletik, masih banyak yang lebih atletik. Jago komputer juga aku bukan yang paling jago. Kelebihanku hanya kemampuan bahasa dan improvisasi. Kemampuan mengurus ayam-ayam sekolah tidak bisa dibilang kelebihan, walaupun nyatanya kemampuan beternak kami dinilai oleh sekolah.

Dugaanku, itu adalah salah satu bentuk paksaan sekolah agar kami bersedia mengurus ternak mereka dengan baik dan benar — selain dengan memaksa kami melalui hukuman lari-lari mengejar ayam tentunya. Sungguh, aku sudah lama merasa dididik untuk menjadi drh. Saritem Widyastuti Sp. Ayam dan bukan agen intelijen negara.

"Tadi aku bilang ke Jeng Anu, 'Omku diare, butuh obat'. Terus dia kasih kotak isi daun-daunan. Kotaknya enggak kubawa, tapi isinya ada di jaket. "

Cowok itu membuka ritsleting jaketnya, dedaunan hijau menyembul dari kantong bagian dalam, menguarkan bau yang khas. Tangan Joshua mengambil selembar kertas yang kemudian ia berikan padaku.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa pahlawan revolusi di negara-negara Eropa kebanyakan berasal dari kalangan pengacara. Pernahkah kalian bertanya-tanya mengapa di negara-negara Asia, khususnya Indonesia, pahlawan revolusi biasanya berasal dari kalangan dokter?

dr. Cipto Mangunkusumo, dr. Moewardi, dr. Soetomo, dan dr. Wahidin Soedirohoesodo adalah contoh pahlawan kebangkitan yang bergelar dokter dari Indonesia. Bahkan, Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Indonesia, pernah mengenyam pendidikan di STOVIA.

Mengapa bukan pengacara seperti di Eropa?

Mungkin alasannya karena Indonesia belum memiliki rasa keadilan dan hukum. Oleh karena itu, kebangkitan nasional tidak bisa dimulai dari perjuangan konstitusi yang konkrit. Mungkin, perjuangan kebangkitan di Indonesia adalah sebuah perjuangan yang harus dimulai dengan menyembuhkan. Menyembuhkan rakyatnya dari moral yang rusak maupun dari akal yang bodoh.

DOR!

Aku terlonjak, hampir menjatuhkan kertas kecil itu lantai. Mataku menatap nanar sekeliling.

Nihil, tak ada yang mencurigakan, hanya celingak-celinguk kepala penjual dari toko masing-masing. Aku segera meremas lengan Joshua, menyeret cowok itu menuruni tangga.

"Cabe Merah masuk. Ada apa? Ganti."

DOR!

"Dua ikat petasan meledak di gapura. Curiga tersangka seorang pria berbaju hitam-hitam dengan topi hitam."

DOR!

"Melon masuk. Siapa aja yang di deket gapura selain Cabe Hijau? Bagi tugas," perintah Omar

Petasan. Untuk mengarahkan kami atau mengalihkan perhatian?

"Cabe Hijau masuk. Saya akan coba periksa. Kemungkinan petasan tadi untuk kita. Ganti."

Joshua membisu di sampingku, mungkin karena tidak bisa mendengar percakapan kami. Alat komunikasinya pasti dimatikan oleh Leon. Aku memindai sekeliling, mencari lokasi yang minim keramaian. "Cabe Merah masuk. Tolong yang lain dengarkan. Saya dan Terong menemukan petunjuk dari D71." Aku menjelaskan dengan cepat petunjuk yang diberikan Joshua. "Ada pendapat?" tanyaku setelah selesai.

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang