Silahkan vote dan komen jika perlu
🌛
Jangan pernah takut. Karena tangan ini akan selalu menggenggam tanganmu. Dan hati ini akan selalu mencintaimu.
🌸
SECANGKIR cappuccino hangat menjadi teman Anya untuk menikmati sore hari ini. Masih di hari yang sama ketika Sean tak menjemputnya. Kadang terbesit rasa takut yang menghantuinya ketika Sean bersifat seperti itu. Ketakutan ketika cinta Sean tak lagi untuknya.
Anya kembali menyesap cappuccinonya ketika Rara masih saja asyik dengan handphone sambil senyum-senyum tidak jelas. Anya memutar bola matanya malas merasa bahwa Rara mengajaknya ke kafé hanya untuk melihat gadis itu bermain handphone.
"Ra," panggil Anya yang hanya dijawab dengan gumaman dari Rara.
Anya mendengus kesal. Bagaimana bisa Rara mememinta menemaninya di kafé, sedangkan dia asyik dengan dunianya sendiri. Jika Anya adalah manusia yang tak berperasaan, pasti saat ini Anya sudah meninggalkan Rara bersama kopi bersianida.
Tapi ingat, Anya masih manusia normal yang punya hati dan perasaan.
"Ra! Gunanya lo ngajak gue kesini itu apa sih? Apa cuma buat dikacangin gitu aja?" Anya akhirnya mengutarakan apa yang mengganjal di hatinya.
Rara akhirnya menyelesaikan aktivitasnya tadi. Ia terkekeh pelan.
"Maaf. Nggak maksud gitu sih, Nya." Rara meringis.
Anya melirik Rara malas, kemudian memalingkan wajahnya ke arah jalanan yang senggang di balik jendela besar di sebelahnya.
"Lo marah ya?" tanya Rara yang merasa bersalah.
Bibir Anya terbentuk garis lurus, "Mau marah juga buat apa, Ra."
Rara menggaruk pelipisnya karena bingung mau membahas apa. Sebenarnya Rara juga bingung mau melakukan apa. Hanya saja mengajak Anya ke kafé termasuk salah satu misinya.
Tapi mengapa Rara yang di perintah untuk melakukan hal itu?
Ya, semua temannya tau, Rara yang paling dekat dengan Anya. Rara yang tau bagaimana Anya. Memang Salsa juga dekat dengan Anya. Hanya saja keduanya tak sedekat Rara dengan Anya.
Intinya, Anya dan Rara sahabat yang sudah seperti saudara
"Ngalamun aja, lo. Kalau punya gebetan baru ngomong!" Anya membuyarkan lamunan Rara, kebiasaan.
Rara memajukan bibir bawahnya. Terlihat lucu. Tapi tidak bagi Anya yang kini dengan santainya meminum cappuccinonya.
"Bisa-bisanya lo menyimpulkan hal yang melenceng kaya gitu. Gue masih menetap jadi jomblo tau!" Rara menangkup wajahnya sendiri dengan kedua tangannya.
"Abis lo tadi main HP sambil senyum-senyum sendiri. Bukannya itu tanda-tanda?" tutur Anya sembari menggerak-gerakkan telunjuk dan jari tengah kedua tangannya ketika ia mengatakan tanda-tanda.
"Dasar, penyakit lo kumat lagi!"
Anya melotot, tak terima. "Penyakit apa? Mana ada gue punya riwayat sakit selain pilek, batuk, bersin, dan pusing. Dan sekarang gue sehat."
Rara menepuk kening pelan. "Penyakit yang gue maksud adalah kebiasaan lo menyimpulkan sesuatu tanpa cari tau. Jadi kadang nyeleweng. Kalau bener pasti lo lagi kena keberuntungan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Pieces
Teen Fiction[genre: high school; teen fiction] Semua orang beranggapan bahwa Anya adalah gadis yang sempurna. Dengan paras cantik dan hidup yang serba berkecukupan, membuat mereka iri dengan Anya. Tapi mereka tak pernah tau sisi lain dari Anya. Sisi yang tak pe...