Bab 1: Keluarga yang (Tak) Sempurna

6K 142 8
                                    

Februari, 2008

Meja makan berukuran sedang yang terbuat dari kayu jati, dipenuhi oleh aneka masakan. Ada lodeh labu, tempe goreng, dan ikan asin goreng yang siap untuk disantap.

"Kenapa semua masakan Emih enak?" tanya gadis kecil melahap sarapannya.

"Karena Emih sudah belajar masak sejak seusia kamu," jawab wanita itu lembut.

Setelah meneguk air putih, seorang anak laki-laki menimpali, "Sepertinya Emih masak dengan cinta."

"Bisa aja, kamu!" seru sang ayah sembari mengacak-acak rambut jagoannya.

Bahagia. Itulah yang dirasakan mereka. Karena tidak semua orang bisa bercengkerama seperti itu di pagi hari. Terlebih masyarakat di sini terlalu canggung ketika mengutarakan kasih sayang terhadap keluarga.

Keluarga mereka lumayan berada karena memiliki sawah seluas setengah hektar.

Umumnya, para petani makan di sawah. Namun, tidak dengan Abdul dan Muslihah. Sepasang suami istri itu lebih memilih sarapan di rumah, ketimbang bergabung dengan para buruh tani. Sepintas terlihat tidak menghargai para pekerja, tapi bagi keduanya anak-anak harus diberikan perhatian-perhatian sederhana.

Semoga, selamanya bisa seperti ini, batin gadis kecil yang bernama Rani itu.

"Nok! Abah tadi sore lihat ada sangkar burung. Burungnya bagus, bulunya cokelat, tapi ada warna kuning sama biru dongkernya," ujar Abdul.

"Beneran, Bah? Nok pengin liat, asli! Ntar sore, yah, Bah. Anterin!" seru Rani penuh antusias.

Senyum Abdul mengembang. Keceriaan anak-anak adalah bahagianya.

"Ntar Abah bawa pulang, deh, burungnya."

Rani bersorak girang. Lalu, ia buru-buru menandaskan sarapannya.

Setelah makan, Mubin meraih sepeda mini berwarna birunya.

"Giyan¹, Nok!" seru bocah berseragam SMP itu kepada adikknya.

Jarak rumah dan sekolah Rani hanya beberapa ratus meter. Namun, ia senang sekali bisa membonceng sepeda kakaknya-meski hanya saat berangkat-yang bersekolah di Kecamatan.

"Nok nggak sabar, pengin liat burung yang bakalan dibawa abah, Ang," terang gadis yang kini melingkarkan tangannya di pinggang Mubin.

"Sabar, Nok. Nembe gen pan mangkat sekola²."

Di balik punggung Mubin, Rani terkikik.

***

Meski peluh membanjiri kaus lengan panjannya, Abdul memacul tanah yang akan ditanami bawang merah itu dengan penuh semangat.

Sementara itu, sang istri yang berada 200 meter darinya tengah membersihkan hama. Bawang merah yang sedang dibersihkan Muslihah sudah ditanam sejak sebulan yang lalu. Karena awal musim penghujan memang bagus jika ditanami tanaman itu.

Entah saking semangatnya atau bagimana, cangkul Abdul tak sengaja mengenai kaki. Untungnya, ia tidak sepenuh tenaga melakukannya. Meski begitu, tetap saja ujung benda itu menancap sedalam 3 sentimeter.

"Ugh," erangnya menahan kesaktian.

Karena tak ingin membuat istrinya panik, ia buru-buru mencabut benda itu secara perlahan. Darah mengucur membasahi tanah. Dengan kasar, ia melepas kaus lalu menyobek salah satu lengan untuk membebat sementara kaki kanannya.

"Emih!! Abah pulang duluan, ya," pamit Abdul dengan seulas senyum yang dipaksakan.

Menoleh sekilas, wanita bernama Muslihah itu tanpa ada sedikit pun rasa curiga, menjawab, "Iya, Bah."

Raniway (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang