Bab 5: Blitz

3.3K 89 8
                                    

"Yang lebih menyakitkan dari rindu menggebu adalah harapan yang terlalu melambung dan menunggu dengan gagu."

***

"Adakah yang lebih menyakitkan daripada rindu yang menggebu?" tulis Rani di story Instagram-nya.

Rindu. Bagi sebagian orang, hal itu sangat mengganggu. Apalagi jika perasaan itu tak memiliki potensi untuk disembuhkan.

"Lagi galau, ya?" tanya sebuah akun membalas story-nya.

Kalau lagi galau trus kenapa? Dateng trus mau pura-pura jadi penolong, gitu? cibir Rani dalam hati.

Menurut gadis itu, selalu saja ada oknum-oknum tak bertanggungjawab yang memanfaatkan kesedihan seorang gadis. Bertindak bak malaikat penolong, tapi nantinya justru bisa menjadi pemicu keterpurukan yang lebih besar jika mereka hanya berperan sebagai penawar luka, tidak betul-betul menyembuhkannya. Jadi, itu hanyalah hal yang sangat semu. Kesenangan sepintas.

Mengembuskan napas berat, Rani hanya membalasnya dengan singkat bahwa dirinya tidak sedang galau.

Tiba-tiba, sebuah balasan yang menarik mampir di pesan masuknya.

@farsyad: Ada, yaitu menunggu. Menunggu dia yang tak kunjung menyadari perasaanku. 😂
@ranufa: Iya, kah? Wkwkwk. Kenapa harus menunggu dia sadar? Nggak mencoba mengutarakan aja, gitu?
@farsyad: Harusnya gitu, ya?
@ranufa: Iyalah, daripada harus menunggu dalam kebimbangan, lebih baik mengutarakan yang sebenarnya, bukan?
@farsyad: Terlepas akan terbalas atau tidak, gitu? 😃
@ranufa: Tentu. Terkadang, penolakan justru lebih baik daripada ketidakpastian. 😊
@farsyad: Oke oke. Makasih sarannya, De. Nanti tunggu momen yang tepat. 😁
@ranufa: Siap, Kak. Semangat, ya! Semoga lancar.

Obrolan singkat mereka pun berakhir.

Siapa, sih? tanya gadis itu kepada diri sendiri karena merasa penasaran terhadap siapa yang dimaksud Arsyad.

Ada perasaan berharap muncul di benaknya. Gadis itu ingin bahwa dirinyalah yang pemuda itu maksud.

Mana mungkin aku, lah, batin Rani mengingatkan dirinya sendiri agar tahu diri.

Tiba-tiba, perasaan kesal, iri, cemburu menghampirinya. Rasanya, ia tak rela jika laki-laki yang diam-diam mulai ia sukai justru menyukai gadis lain.

Please deh, Ran. Tahu diri, napah! Rani mengingatkan diri sendiri.

Wajar nggak, sih menyukai seseorang yang hanya dikenal di media sosial? tanyanya pada diri sendiri.

Masalahnya, bukan tanpa alasan gadis itu diam-diam menyukai Arsyad. Selain karena kepandaian pemuda itu dalam bidang fotografi yang membuat Rani takjub, pemuda yang berkuliah di Semarang itu juga memeliki kepribadian yang menyenangkan.

Terus kalau dia juga suka sama aku, gimana? Dia kan belum tahu banyak hal tentangku. Kemungkinan besar, dia pasti suka karena fisik, bisik suara hati Rani menyulut rasa sangsi.

Gadis itu juga berasumsi bahwa tak mungkin Arsyad menyukainya. Di Semarang sana pasti banyak perempuan-perempuan yang jauh lebih menarik dan cocok bersanding dengan pemuda itu.

Mengembuskan napas dengan berat, Rani memaksa dirinya berpikir logis.

***

Raniway (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang