Bab 2: Busan, Kota Impian

4.5K 103 4
                                    

Juni, 2005

Seorang bocah berumur delapan tahun menatap girang perahu yang berpapasan dengan sampan yang ia naiki.

"Seneng, Nok?" tanya Mubin.

"Iyalah, Ang. Seru," jawab Rani dengan senyum mengembang.

Saat ini mereka tengah menaiki perahu dalam acara sedekah laut. Pesta rakyat yang diadakan para nelayan di desa Kluwut itu dipenuhi pengunjung. Dari rumah, keluarga kecil itu menaiki mini bus yang sumpek.

Para perahu dihiasi bahan-bahan makanan yang berupa sayur-sayuran, buah-buahan, dan bendera wana-warni agar pesta itu kian ramai.

"Sayang, Emih nggak ikut, padahal kan seru," keluh Rani.

Tersenyum, Abdul mengusap lembut puncak kepala anak perempuannya.

"Emih kan mabok laut, Nok."

Gadis itu hanya tersenyum memamerkan gigi putihnya.

"Rame, yah, Bah. Ntar kalo ada lagi, ajak Nok ke sedekah laut lagi, yah," pinta gadis berkucir dua itu.

Abdul hanya tersenyum kecil.

Setelah menaiki perahu, mereka menuju tempat penjualan ikan. Di sana sedang ada pagelaran wayang kulit. Ramai sekali. Selain karena hari libur, banyak warga dari luar Brebes ikut meramaikan.

"Makan bubur ayam, yuk!" ajak Abdul kepada keluarga kecilnya menuju tukang bubur yang berada di sekitar TPI itu.

Melihat aneka sate yang menggoyang lidah, Rani berkata, "Bah! Nok pengin sate juga, dong! Sate ati sama usus."

Rani, Mubin, dan Muslihah duduk di bangku sembari menunggu Abdul memesankan makanan.

"Atinya tiga, Mang. Ususnya lima," kata Abdul kepada penjual bubur ayam itu.

***

Mei, 2010

Keringat bercucuran di dahi Rani. Napasnya sesak, lalu dia terbangun. Gadis itu meludah ke sebelah kiri dan berdoa sesuai yang diajarkan abahnya jika mimpi buruk. Rani lalu mengusap dahi menggunakan lengan baju tidur yang dikenakannya.

Mengembuskan napas dengan berat, Rani berdesis, "Abah ...."

Mimpi itu lagi-lagi mengusiknya. Kadang, mimpi indah sekalipun bisa mengusik seseorang. Karena kala terbangun, ia sadar bahwa kenyataan tak lagi bisa diperbaiki.

Air mata membasahi pipi bocah itu. Ia harus menerima kenyataan. Seseorang yang selama ini menjadi imam mereka saat salat magrib telah menghadap Sang Pencipta.

"Bubu ...," ujar Rani memandang burung madu sriganti jantan yang sangkarnya digantung di langit-langit kamar. Sebenarnya, burung itu sempat akan ia bunuh karena mengingatkannya pada kenangan paling menyakitkan.

Bukankah abah berpesan supaya Nok burung itu? Suara sang ibu terngiang di kepalanya.

Selain berpesan agar menjaga burung itu, sang ayah juga sering mengingatkan agar Rani menjaga salat. Karena tiang agama itu akan dihisab pertama kali.

Gadis itu tidak pernah menceritakan mimpi-mimpinya. Rani takut, ibunya ikut sedih. Belum lagi kalau sampai kakaknya tahu kalau ia masih sering menyalahkan diri sendiri.

Rani mengacak-acak rambutnya dengan gemenjagaram. Ia merasa, waktu tak pernah berpihak kepadanya.

Turun dari kasur, gadis itu melangkah ke luar. Langkahnya terhenti saat memegang gagang pintu.

"Kamu nggak kasihan sama nok?" Sayup-sayup suara sang ibu bisa ia dengar.

Rani mengerutkan dahi.

"Mau izin nggak sanggup, Mih," ujar Mubin dengan berat hati.

Raniway (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang