Bab 22: Sharpness

1.3K 26 0
                                    

Rani selalu suka melihat snap WhatsApp Afkar karena pemuda itu sering kali memamerkannya hasil jepretannya kala berjalan-jalan di Negeri Gingseng itu. Kali ini, gadis bergigi gingsul itu kian terpukau karena foto yang Afkar bidik adalah pemandangan favoritnya, taman bunga matahari.

"Itu di mana?" tanya Rani setelah mengumpulkan keberanian.

"Namwon," jawab pemuda itu singkat.

"Jauh nggak?"

"Lumayan. Hampir 3 jam dengan dua kali naik subway dan dua kali naik bis." Untuk pertama kalinya Rani membaca pesan lumayan panjang dari Afkar. "Mau ke sini?" tanya pemuda itu.

"Cuma bisa mimpi, hehe."

"Impian lebih tepatnya. Dan impian itu harus diusahakan, N... Ran." Afkar gelagapan. Hampir saja keceplosan memanggil Rani dengan sebutan nok, lalu ia menghapus huruf 'N'. Pemuda itu takut adik dari Mubin itu kurang nyaman jika dipanggil demikian olehnya.

"Daripada uangnya buat ke Korea, mending keliling Jawa Tengah aja. Banyak kan yang lebih indah 'kan? Lagipula di Purwokerto ada Small World."

"Lagipula kamu juga punya taman bunga matahari, kan?" tanya Afkar.

"Udah lama mati, dan aku kehabisan bibitnya. Bingung mau minta ke mana lagi. Beli online nggak berani," keluh Rani.

"Ntar, deh. Aku beliin di sini. Nanti aku titip Mas Mubin yang mau pulang."

Rani kaget setengah nggak percaya. Gadis itu berseru riang dalam hati.

"Nggak usah, deh. Takut ngerepotin," tolak Rani pada akhirnya merasa tak enak.

"Nggak ngerasa direpotin lagian." Afkar masih berusaha meyakinkan.

"Makasih sebelumnya. Oh, iya. Kok tau aku punya taman?" tanya Rani bingung.

Di ujung sana, Afkar gelagapan. Ia tidak mungkin mengaku kalau dirinya sudah sejak lama tahu tentang Rani.

Pesan yang ia kirimkan sudah dibaca, tapi belum ada tanda-tanda kalau Afkar tengah mengetik. Rani jadi curiga. Karena kalau tahu dari Mubin, seharusnya pemuda itu sudah tahu kalau tamannya sudah mati, tinggal bunga-bunga lain yang tangguh di segala musim.

Sebenarnya dia itu siapa, sih? batin Rani.

Afkar berusaha memutar otak untuk menjawab pertanyaan itu. Masa aku harus jujur?

"Nebak aja. Bukannya biasanya perempuan suka berkebun?" bohongnya. Karena untuk saat ini, Afkar belum siap menceritakannya.

Iya, sih..., tapi kok bisa spesifik banget pertanyaannya. Sadar tidak akan memperoleh jawaban yang diharapkan, gadis itu memilih mengiyakan.

Mengembuskan napas lega, pemuda itu membatin, Suatu saat nanti kamu juga tau, Nok.

***

Meski sudah mendapat dukungan dari Arum dan Afkar, Rani belum menemukan waktu yang cocok untuk mengutarakannya kepada sang kakak. Gadis itu juga belum membicarakannya dengan sang ibu karena tahu, wanita paruh baya itu pasti mendukung segala keinginan anak-anaknya selama itu baik dan bisa diperjuangkan.

Ngenteni kakang balik aja, wis (nunggu kakak pulang aja, deh). Biar lebih gampang ngomongnya, tekad Rani.

Tinggal menghitung hari Mubin pulang. Hati Rani yang sudah diliputi banyak kerinduan itu tidak sabar dengan kedatangan pemuda yang sangat ia cinta itu.

Empat tahun bukanlah waktu yang singkat, sehingga wajar saja jika dirinya merasakan kerinduan yang besar. Apalagi pemuda itu hanya cuti selama sebulan.

Belum lagi pemuda itu sebentar lagi akan menikah. Itu artinya, bukan dia gadis satu-satunya yang akan Mubin manja. Rani harus rela berbagi perhatian sang kakak dengan Arum.

Raniway (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang