"Orang kuat itu adalah orang yang mau ikhlas merelakan meskipun menyakitkan."
※※※※※
Davka kesal. Aksi kaburnya tadi ternyata berdampak pada kondisi tubuhnya. Tadi setelah ia berjalan menuju rumahnya, tiba-tiba kepalanya menjadi sangat pusing dan ia jatuh tak sadarkan diri di dekat rumahnya.
Kini setelah ia sudah sadar, ia harus dihadapi sebuah kenyataan bahwa ia sudah berada di rumah sakit lengkap dengan jarum infus yang sudah tersemat di punggung tangan kanannya. Ia meraba keningnya yang ternyata masih saja panas.
Kedua matanya mengedarkan pandangan ke segala arah dan ia tak menemukan siapapun hingga kenop pintu ruangannya terbuka dan menampilkan sesosok wanita berbaju putih berambut hitam dan panjang....namun disanggul.
"Halo Davka. Wah sudah sadar kamu ya?" sapa wanita itu dengan senyuman manisnya.
"Eh...iya sus. Udah sadar. Sadar telah mencintai suster," goda Davka yang seketika mendapatkan tepukan halus di lengannya.
"Kamu ini ya. Bercanda terus. Saya jadi gak percaya kalo kamu sakit beneran."
"Ih beneran suster. Nih pegang. Saya masih demam, telapak kaki saya lecet-lecet, perut saya laper, hati saya masih jomblo, suster kayaknya jomblo. Jadian, yuk!" goda Davka yang seketika berbuah jitakan keras.
Jitakan itu bukan dari suster muda yang kini tengah mengukur tekanan darahnya, melainkan dari Raehan yang tiba-tiba saja sudah muncul di sana.
"Abang! Apa-apaan sih?!" ujar Davka sembari terus mengelus kepalanya yang masih terasa sakit.
"Lo lagian kalo ngomong suka ngaco," sahut Raehan acuh.
"Lagian ngapain sih abang disini? Bukannya sekolah juga."
"Gue ijin. Gara-gara lo."
"Ah alibi doang lu mah ya bang biar gak masuk."
"Udah udah, gak usah berantem. Saya pergi dulu ya," ucap suster itu sembari membereskan peralatannya tadi kemudian ia menoleh ke arah Davka yang masih memberengut kesal disana. "Tekanan darah kamu normal. Ga usah cemberut gitu. Nanti tekanan darahnya tinggi. Haha."
Keduanya terdiam hingga suster muda itu pergi.
"Heh kambing! Dengerin gue ya! Tadi lo pingsan di jalan. Gimana gue gak panik coba?!" teriak Raehan setelah dirasanya suster itu benar-benar telah pergi.
Davka mengalihkan pandangannya ke arah kedua tangannya yang saling beradu satu sama lain.
"Lo tau gak seberapa paniknya gue tadi pagi?! Lo harusnya mikir, Dav! Mikir. Lo terlalu berharga buat gue."
"Maaf," sahut Davka dengan suara yang sedikit bergetar. Ia benar-benar merasa bersalah kali ini. Seharusnya ia tidak bertindak bodoh. Seharusnya ia bisa lebih menjaga dirinya lagi. Atau seharusnya ia tidak dilahirkan di keluarga ini?
"Maaf bang. Gue...gue cuma bisa nyusahin lo sama bunda doang. Maaf kalo selama ini gue jadi anak gak berguna banget."
Maaf ka-""Shut up, Davka! Sekali lagi lo ngomong gitu, gue benci sama lo."
"—ka... kalo gue senyusahin itu—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seharusnya ✔
Teen Fiction"Seharusnya lo gak begini. Seharusnya-" "Seharusnya seharusnya seharusnya. Berhenti bilang seharusnya karena gak semua hal berjalan sesuai logika lo." *** [Completed] Higest Rank #193 (5 Desember 2017)