Epilog

4.2K 266 83
                                    

Hari ini tidak seperti biasanya, suasana sekolah sangat ramai. Halaman depan yang biasanya dipenuhi oleh beberapa anak lelaki yang tengah bermain basket, kini dipenuhi oleh deretan stand yang dipenuhi oleh berbagai hiasan yang sangat menarik.

Di bagian ujungnya berdiri sebuah panggung megah yang dipenuhi berbagai dekorasi menarik. Sudah sejak pagi tadi, Kailasha dan Diego terlihat sibuk mondar-mandir memantau jalannya Pensi. Pada pensi tahun ini, seluruh ekstrakurikuler turut berpartisipasi dengan mengisi stand, membuat Diego sedikit kewalahan karena sangat banyak yang harus ia urus.

Tak terkecuali dengan Afreen. Sebagai tim humas, ia cukup sibuk bahkan sejak sebelum acara ini belum dimulai. Banyak sekali hal yang harus ia lakukan hingga ia tak sempat untuk menikmati kegiatan Pensi tahun ini.

"Nih," ucap Diego yang kini sudah duduk di sebelah Afreen.

Afreen yang tadinya sedang beristirahat di ruang OSIS kini menoleh kearah Diego dan meraih sebotol minuman dingin yang diberikannya.

"Thanks."

"By the way, lo gak papa?"

Afreen menatap Diego dengan tatapan penuh tanya. "Maksud lo?"

"Ya... itu," ucapnya singkat sembari menunjuk ke arah bingkai foto kecil yang terletak di atas meja yang digunakan oleh Ketua OSIS.

Sebelumnya tidak pernah ada foto disana. Namun kejadian lebih dari satu bulan yang lalu itu membuat semua orang belum bisa melupakannya dan meletakkan foto itu disana. Menggantikan figur seseorang yang sudah-

"Eh, lo udah kasih tau manager band Kiora kalo sebentar lagi mereka harus tampil?"

Diego menepuk keningnya dan mengumpat pelan. Hampir saja ia lupa. Seharusnya hal ini adalah tugas dari tim acara untuk mengkondisikan band itu. Tapi entah mengapa Diego ingin melakukannya sendiri.

Bukan tanpa alasan mereka mengundang band yang tengah naik daun itu. Kejadian lebih dari satu bulan yang lalu itulah yang membuat Pensi ini berjalan dengan konsep yang berbeda. Tujuannya hanya satu. Mempersembahkan Pensi ini hanya untuk dia.

Diego berlari dan menarik pergelangan tangan Afreen. "Ayo, bantu gue!"

*****

Pukul 15.15 tepat. Afreen mengalihkan perhatiannya dari jam biru laut yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Kemudian ia kembali menatap band yang kini sedang tampil di atas panggung itu. Banyak orang mulai memenuhi bagian depan panggung untuk menonton pertunjukkan hebat dari band tersebut.

"Good job, Go. Lo hebat!" ujar Afreen tanpa mengalihkan pandangannya ke arah panggung tersebut.

Bukan tanpa alasan panitia memutuskan memanggil band ini. Band Kiora adalah band kesukaan Davka. Hampir setiap hari Davka mendengarkan berbagai lagu yang dibawakan oleh mereka.

"Dav, sekarang gue udah bahagia tinggal sama mama. Mama juga sekarang sering ketawa terus. Aku seneng. Diego sama Kailasha juga udah jadian. Mereka lucu deh. Galaknya Kailasha gak ilang. Uno? Dia baik dan sekarang jadi temen gue juga," ujar Afreen bermonolog dengan tatapan yang masih lurus menatap penampilan dari Kiora seakan Davka benar-benar berada di sini. Mendengarkan lagu dari band favoritnya.

"Dav, gue sekarang juga udah banyak senyum, banyak ketawa, sedikit demi sedikit gue juga udah mulai punya temen." Afreen menyeka cepat air mata yang mulai menetes dari sudut matanya. Tak kuat menahan tangis, Afreen menunduk dalam dan terisak disana. Diantara kerumunan orang-orang yang sedang menikmati jalannya acara.

"Dav... maaf gue gak bisa ngabulin permintaan lo buat ngelupain perasaan ini. Seharusnya...seharusnya-"

"Berhenti bilang seharusnya. Harus gue bilang berapa kali sih?!" ucap seseorang yang membuat Afreen menoleh ke sebelah kanannya.

Kedua matanya membulat tak percaya atas apa yang ia lihat saat ini. Apakah ini sungguhan atau hanya bagian dari imajinasinya?

"Ngapain lo natap gue begitu?" ujarnya yang kini diiringi tawa kecil.

Cowok itu merentangkan kedua tangannya dan merengkuh tubuh kecil yang selama ini ia rindukan. Dengan lembut, ia mengelus kepala Afreen.

"Gue bilang juga apa. Berhenti mikir dengan kata seharusnya. Gak semua hal berjalan sesuai logika. Termasuk dengan adanya gue disini yang gak berjalan sesuai logika lo."

Tak mendapatkan respon dari Afreen, cowok itu segera menguraikan pelukannya namun dengan secepat kilat, ditahan oleh Afreen.

"Maaf gue gak bisa turutin apa mau lo. Gue gak bisa ngelupain perasaan ini. Gue sayang sama lo, Davka!"

Mendengar hal itu, Davka mengurai pelukannya dan menatap kedua mata yang sudah masah oleh air mata. Davka tersenyum dan menghapus jejak air mata yang membasahi kedua pipi gadis itu.

"Gue maafin. Tapi ada satu hal yang gue mau, dan lo harus ngabulin itu."

"Apa?"

"Sebelum itu, gue mau bilang. Kalo gue kali ini akan coba jadi lo yang mendewakan kata seharusnya itu," sahut Davka yang segera dihadiahi sebuah tepukan pada lengannya yang cukup membuatnya meringis. "Oke, gue serius. Dengerin!" Davka mengehela napasnya perlahan.

"Lo suka sama gue dan gue juga suka sama lo. Seharusnya lo udah jadi cewek gue."

Afreen membulatkan kedua matanya. Jadi? Jadi apa? Apa maksud Davka? Seketika pikirannya menjadi bingung.

Tanpa menunggu respon apapun dari Afreen, Davka segera merangkul pundak sempit Afreen dan mengarahkannya ke arah band kesukannya yang masih tampil di atas panggung itu.

"Gak usah bingung. Lo jadi cewek gue. Titik. Ga boleh nanya dan gak ada waktu buat mikir."

"Tap-"

"Ssstt! Diem. Ini lagu kesukaan gue!"

Afreen tersenyum manis. Ini adalah hal teraneh dalam hidupnya. Davka memang unik dan itulah yang ia suka darinya.

Afreen selalu berharap bahwa hari ini tidak berakhir.

"Seharusnya 'kan gue bilang 'iya' dulu baru gue bisa jadi cewek lo."

"Seharusnya lo gak usah bilang 'iya' kalo nyatanya hati lo emang udah mengiyakan hal itu."

Afreen mendengus geli. Ternyata benar. Mendengar pernyataan dengan kata seharusnya itu lama kelamaan memang terdengar semakin menyebalkan.

"Umm, Dav."

"Hmm," sahut Davka yang kini menoleh ke arah Afreen yang masih berada di rangkulannya.

"Selama sebulan lebih ini, lo kemana?"

"Berobat."

"Dimana?"

"Di hati kamu beb," ujar Davka sembari menyolek dagu Afreen gemas.

Afreen yang merasa kesal segera menjitak kepala Davka dengan sangat kesal.

"Aw aw aw! Cowoknya seharusnya disayang. Bukan dijitak."

Kedua pipi Afreen memerah saat ia mendengar kata 'cowoknya'. Ah, rasanya seperti mimpi saja!

"Ciyee blushing. Aw aw aw!" sahut Davka yang kini berusaha menghindar dari amukan Afreen.

"DAVKA ADHIKARI!!!"

*****

Seharusnya kita bahagia.

*****

Selesai.

#####

Ini pertama kali bikin cerita happy ending.

Naah udah gak gantung lagi, kan?

Udah yaa jangan marahin aku lagi ahahahahahaahahahaha 😂😂😂

Oke.... setelah ini tinggal cerita Ephemeral yang belum tamat.hahaha

Dan mungkin akan ada cerita baru (lagi)

So, stay tune yah hehehehe

See ya 🙋

Seharusnya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang