Bab 19

2.5K 297 146
                                    

"Gue tahu kalo gue berhak bahagia. Tapi gue gak bisa bahagia kalo harus menyakiti orang lain."

※※※※※

Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Dan malam ini adalah malam Sabtu. Hal ini menunjukkan bahwa sudah saatnya Davka melakukan kegiatan rutinnya.

Menonton Upin Ipin.

Davka yang sedari tadi sudah terpaku di depan televisi bahkan tak menyadari bahwa Dinar sudah duduk di sebelahnya lengkap dengan segelas susu coklat hangat di tangannya. Dinar memandangi anaknya sembari menahan tawanya. Anak lelakinya ini meskipun sudah besar memang senang menonton acara anak-anak seperti ini.

"Davka sayang," ujar Dinar seraya mengelus puncak kepala Davka membuat mau tak mau menoleh ke arahnya.

"Ada apa nda?"

"Ini susunya diminum dulu."

Davka meraih cangkir hijau berbentuk kodok yang merupakan cangkir kesukaannya sejak kecil itu dan meletakkannya di atas meja. "Nanti aja ya, bun. Nanti Davka gak konsen nontonnya."

"Ah gaya kamu. Nonton kartun aja kayak nonton debat kandidat capres," ujar Dinar sesaat sebelum ia kembali ke dapur dan melanjutkan aktifitas sebelumnya.

Davka kemudian kembali melanjutkan kegiatannya untuk menonton televisi, namun sebuah gangguan datang lagi. Davka menggeram kesal kala ia mendapati kakaknya yang menghempaskan tubuhnya kasar ke sebelahnya. Davka menatap tajam kakaknya namun hanya dibalas cengiran dari Raehan.

"Ngapain sih lo bang ?! Ganggu aja! Gak tau apa kalo gue lagi mencoba konsentrasi disini?!"

"Gue lagi seneng Dav."

Davka menaikkan sebelah alisnya dan menatap bingung kakaknya yang masih saja tersenyum sendiri. Namun karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Raehan, akhirnya Davka kembali menatap layar televisinya yang masih menampilkan sepasang anak kembar botak itu.

"Dav, gue mau nembak seseorang."

Davka tersentak kaget. Namun ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengubah posisinya. Ia masih ingin mendengar lanjutan ucapan kayaknya. Tak peduli bila bayangannya benar-benar terjadi. Ia sungguh tidak peduli.

"Gue kayaknya suka sama Afreen. Gue mau nembak dia besok di taman. Gue udah janjian sama dia tadi," ujar Raehan dengan girangnya. Kedua matanya menatap lurus ke arah layar televisi seakan di depannya menampilkan wajah Afreen.

Sedangkan di sebelahnya Davka sedang kembali berjuang sendirian. Menahan segala perasaan yang mungkin akan meledak bila ia biarkan begitu saja.

"Dav, menurut lo gimana?"

Davka menoleh seraya tersenyum simpul. "Gue akan bantu lo."

"Thanks, lo emang adek gue yang paling terbaik," sahut Raehan yang kemudian mengacak-acak rambut Davka dan berlari kecil sembari bersenandung riang menuju kamarnya.

Davka merebahkan dirinya di sandaran sofanya dan menatap nanar langit-langit rumahnya. Mendadak sepasang anak kembar di depannya itu sudah tidak menarik lagi baginya.

"Dan hal yang gue prediksiin terjadi. Begitu aja," gumamnya pelan.

*****

"Jadi lo mau ngelepas dia gitu aja?" ujar Uno dari layar laptop Davka.

Kini Davka tengah melakukan video call dengan Uno di dalam kamarnya. Davka baru saja menceritakan segalanya kepada Uno. Dulu, ketika keadaan mereka berempat masih baik-baik saja, Davka memang cenderung lebih dekat dengan Uno yang memiliki pemikiran yang lebih dewasa dibandingkan yang lain. Sehingga tak dapat dipungkiri lagi, bahwa curhat kepada Uno adalah hal yang paling menyenangkan bagi seorang Davka.

"Ya mau gimana lagi, No. Gue gak mungkin nyakitin hati kakak gue sendiri," sahut Davka sembari memangku setoples butiran coklat berwarna warni dan memakannya.

"Tapi lo—"

"—pantas bahagia," sambung Davka. "Gue udah hapal banget sama omongan ini. Berapa kali sih gue bilang kalo gue bahagia."

"Gak. Lo gak bahagia, Davka," sahut Uno geram. Ia benar-benar kesal dengan sahabat satunya ini. Bagaimana bisa dia terus menerus menyakiti dirinya sendiri dengan terus menolong orang lain seperti itu. Davka bagaikan menjadikan tubuhnya sebagai sebuah jembatan yang diperuntukkan bagi siapapun yang mau menyebrang.

"Ayolah Davka! Come on. Lo jangan bodoh dong!"

"No, please. Ngertiin gue," sahut Davka dengan raut wajah memelas.

Uno mencebik kesal. Ah dia benar-benar tak mengerti jalan pikiran anak ini sejak dulu. Pantas saja Diego selalu mengatakan padanya bahwa sangat sulit untuk menjaga seorang Davka. Davka itu terlalu abstrak, dia nyata tapi terasa maya. Davka itu bagaikan kumpulan persamaan kalkulus yang begitu rumit.

Dan Uno mengakui hal itu. Davka itu benar-benar tak dapat ia mengerti. Mengapa membuat anak itu bahagia saja begitu terasa sulit?

"Now, lwo gwak swekwolwah dwi swiniw?" ujar Davka yang seketika membuat emosi Uno semakin memuncak.

"Itu telen dulu coklat-coklat lo! Astaga Davka, makannya satu-satu jangan serauk gitu. Nanti lo keselek!" Uno benar-benar kesal melihat tindakan aneh sahabatnya ini. Bagaimana tidak, cowok itu memasukkan begitu banyak butiran coklat warna warni itu ke dalam mulutnya hingga memenuhi seluruh rongga mulutnya dan membuat kedua pipinya membesar.

Davka berusaha untuk mengunyah semua coklatnya dan menelannya. Kemudian ia meminun air mineral yang memang disediakan oleh bundanya di atas nakas. "Maksud gue, No lo gak sekolah di sini?"

"Gue homeschooling kok," sahut Uno yang dibalas oleh Davka dengan anggukan.

Perhatian Uno kini teralihkan pada tangan kanan Davka yang ia masukkan ke dalam toples lagi kemudian mengambil segenggam penuh butiran coklat warna warni itu.

"DAVKA! MAKANNYA DIKIT-DIKIT!" pekik Uno yang segera dipatuhi oleh Davka. Ia akui bahwa Uno memang baik. Sangat baik. Namun bila ia marah, kemarahannya mampu menyetarakan kemarahan abangnya, Raehan.

"Iya, maaf."

"Yaudah intinya sorry, gue gak setuju sama pilihan lo saat ini. Lo sahabat gue dan gue sayang sama lo. Gue gak mau sahabat gue menderita." Uno menarik napasnya dan membuangnya secara perlahan. Ia berusaha menenangkan pikiran dan emosinya sedangkan pikirannya tengah berkecamuk. Berusaha memikirkan kata yang tepat untuk menasihati sahabat bodohnya ini.

"Hidup itu cuma sekali, Dav. Dan lo berhak bahagia hidup di dunia ini. Dan bagi gue gak masalah lo sedikit egois sama perasaan lo sendiri. Lo pantas bahagia, Davka Adhikari."

"Dan satu hal lagi, No. Hidup itu pilihan. Dan gue lebih memilih bahagia atas apa yang gue punya di dunia ini. Gak apa kalo gue harus mati karena semua perbuatan bodoh ini. Gue rela. Karena, pun gue lebih memilih bahagia di atas sana," sahut Davka dengan raut wajah tenang serta senyum meneduhkannya.

Uno tanpa sadar juga ikut tersenyum.

"Gue emang gak akan pernah ngerti sama semua jalan pikiran lo."

"Hahaha jangan mikir terlalu keras. Mari kita bobo."

"Heh! Sikat gigi dulu!"

"Iya papah."

Dan seiring dengan berakhirnya percakapan itu, berakhir pula kebahagiaan semu Davka. Setetes air mata terjatuh dari pelupuk mata kanannya. Davka kemudian memeluk kedua lututnya. Dan pertahanannya pun hancur. Laki-laki pantang menangis? Tentu saja. Tapi laki-laki juga manusia, bukan? Mereka berhak untuk menangis.

Dan Davka berhak untuk itu.

"Gue tahu kalo gue berhak bahagia. Tapi gue gak bisa bahagia kalo harus menyakiti orang lain. Gue lebih memilih mati perlahan," ucapnya di sela tangisnya.

[TBC]
⚫⚫⚫

Hellow...

Maaf ya Davka baru muncul hehe
Gak kemaleman, 'kan? Hehe 🙈😳

Seharusnya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang