EMPAT BELAS
Pada akhirnya dorongan dalam dirinya memutuskan untuk menemui Maes. Entah karena apa, rasanya Ratih selalu ingin tahu Maes sedang melakukan apa. Ratih takut kalau cowok itu berbuat macam-macam dengan tubuh Candra. Ngomong-ngomong soal Maes, pelan-pelan gadis itu berusaha lebih menerima kenyataan bahwa sekarang ini tidak ada Candra. Yang ada hanya Maes. Dan di sini lah Ratih berakhir sepulang sekolah. Begitu gadis itu menginjakkan kakinya di depan bengkel tempat Maes bekerja, ia langsung mendapat pelototan dari Maes. Cowok itu sedang sibuk mengganti ban belakang sebuah motor matic.
"Lo?" tanya Maes tak percaya.
"Iya hehehe." Ratih memberikan cengiran sambil menggaruk belakang kepalanya.
Ratih melihat Maes berdiri dari posisi berjongkoknya di samping motor. Tangan cowok itu kotor penuh oli. Namun dengan santai Maes melap tangannya dengan kaos warna merah yang ia kenakan. Rasanya lucu ketika melihat Candra yang biasanya tidak pernah melakukan pekerjaan berat--alias manja dan selalu suruh-suruh--berubah melakukan pekerjaan membenarkan motor seperti itu. Ratih yakin jika Candra sadar, cowok itu pasti jijik dengan perbuatannya sendiri.
"Ngapain sih lo kesini lagi?"
"Gak boleh?"
"Gak! Sini lo!"
Tangannya ditarik paksa oleh Maes keluar bengkel. Ia dibawa oleh Maes ke seberang jalan. Ratih hanya menurut namun semakin jauh cowok itu mengajaknya berjalan, ia menyadari bahwa dia akan dibawa kembali ke jalan raya.
"Tunggu! Gue mau dibawa kemana sih?!" Ratih melepaskan cekalan Maes sekuat tenaga.
"Mau gue cegatin bus! Pulang sekarang!"
"Jahat!" ucap Ratih sambil cemberut.
Maes mengacak rambutnya sendiri kasar. Tidak tahu kemana jalan pikiran Ratih sehingga menemuinya kemari lagi. Lingkungan tempat tinggalnya ini tak baik untuk gadis itu. Bukan hanya karena banyak preman, pergaulan orang-orang di sekitar sini cukup bebas. Dan jangan tanya bagaimana tempat ini jika malam. Maes hanya takut pikiran polos Ratih terkontaminasi dengan segala hal itu.
"Yaudah tunggu sini. Jangan kemana-mana!"
Ratih hanya mengangguk. Melihat Maes yang berlari kembali ke bengkel. Gadis itu mengerutkan dahi ketika tidak menemukan satupun kesalahan dirinya sehingga Maes begitu marah ketika ia datang ke bengkel. Gadis itu mengamati sekitar. Baru saja melihat tiga remaja boncengan dalam satu motor. Pakaian tiga anak itu membuat Ratih geleng-geleng kepala; tank top serta hot pants. Ratih berdecak dalam hati berpikir pantas saja Maes betah tinggal di sini. Cewek-ceweknya begitu semua.
Lamunan Ratih terhenti ketika Maes datang dengan menaiki sebuah motor trail. Dengan helm full face, Ratih baru sadar motor trail jauh lebih keren ketimbang motor sport besar lainnya. Candra--atau Maes--terlihat lebih macho. Kaos kotor yang tadi dikenakan Maes sudah berganti dengan kaos lain warna putih. Jeans belel melengkapi penampilan Maes.
"Naik cepet!" perintah Maes sambil mengulurkan helm warna putih.
"Iya, gak usah bentak-bentak."
Setelah memakai helm dan naik ke boncengan, Maes langsung tancap gas dan membawa motor trail-nya melaju cepat di jalanan Kota Jakarta. Yang membuatnya kesal adalah gadis di belakangnya ini tak bisa diam dan terus mengajaknya bicara dari tadi. Mulai dari menanyakan ini motor siapa ini helm siapa, kok bolos kerja. Dan sederet pertanyaan gak penting lain. Rasanya kalau ia melewati jembatan sekarang, Ratih pasti sudah dia buang. Atau ia tabrakan gadis ini ke pembatas jalan saja bagaimana?
"Kita mau kemana sih?!" teriak Ratih.
Maes mengumpat dalam hati. Bayangkan saja di tengah keramaian jalan begini kupingnya harus mendengar teriakan setiap saat. Untung saja dia bisa nyetir dengan fokus. "Pulangin lo! Lo bisa diem gak sih? Atau lo mau pulang ke neraka karena mati ketabrak truk?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNWANTED YOU [Completed]
Teen FictionBook #2 dan #3 ada disini! Book #2 selesai ✓ Book #3 on going . . . Ada harapan di balik lipatan origami bangau yang diberikan Candra malam itu. Ratih pikir dirinya akan seperti mayat hidup ditinggalkan Candra delapan tahun. Namun, hidup terus berja...