DUA PULUH SEMBILAN
Matahari telah terbenam. Sinar-sinar hangatnya melukis langit menjadi jingga. Bersih, tak ada awan beriringan membawa titik-titik air yang akan berubah jadi hujan. Hanya ada langit dan jingga, dalam naungan senja. Katanya, senja tak pernah salah akan kenangan yang sering kali membuat basah. Lihatlah--pada akhirnya hujan turun--kelopak mata itu tak sanggup menampung betapa senja dan kenangan adalah dua hal tak terpisahkan.
"Sial! Maskara gue...."
Seorang gadis terlihat panik sambil mengusap dua matanya yang basah, sedang satu tangan lainnya ia gunakan untuk mengipas-ngipas depan matanya. "jangan luntur... jangan luntur," ucap si gadis seolah sedang merapalkan mantra.
Barusan sekelebat kenangan masa lalu menyeruak dan membuyarkan lamunannya. Dan gadis itu tak kan membiarkan riasannya hancur hanya karena air mata yang datang tanpa sebab. Salahkan seorang lelaki yang sedang ia tunggu tak kunjung datang hingga membuat pikirannya berkelana lalu bisa sampai memikirkan seseorang dari masa lalu. Singkatnya, tingkat kebaperan gadis itu berada pada level tertinggi jika ia sedang bosan menunggu.
"Sori telat, Tih. Tadi macet parah."
Ratih melihat Maes sudah ada di depannya sambil membungkukkan badan. Napasnya terengah-engah. Ratih mengamati kembali Maes dari ujung kepala sampai kaki. Cowok itu mengenakan celana chino warna hitam juga kemeja slimfit warna hitam yang lengannya digulung sampai siku—membuat Ratih bisa melihat tatto kepala singa di lengan kiri cowok itu. Juga dasi warna silver menambah penampilan Maes jadi kasual. Satu tindikan di telinga kanan tak luput dari pandangan Ratih, membuat gadis itu gatal ingin ngomel-ngomel, belum lagi rambut Maes acak-acakan seperti belum disisir. Namun ia tahan, pertemuan terakhir mereka kemarin, sikap Ratih sudah sangat tidak baik. Ratih tak ingin menambah suasana menjadi buruk.
"Kamu ngapain kaya habis dikejar setan?" tanya Ratih pada akhirnya karena Maes masih terlihat mengatur napas.
"Habis lari dari depan gang. Yoklah katanya acaranya jam tujuh?"
"Mau aku ambilin minum dulu gak? Kayanya capek banget?"
Maes menggeleng cepat. "Gausah-gausah. Kelamaan nanti telat. Ini masuk tol mesti macet ntar. Ayo!"
Ratih hanya bisa mengangguk. Gadis itu mengambil stiletto putih di bawah kursi yang tadi ia duduki. Memakainya cepat lalu mulai meninggalkan teras rumahnya. Ratih menerima uluran tangan Maes saat akan menuruni tangga teras rumahnya. Bukan karena apa, namun stiletto yang dipakainya sekarang cukup tinggi dan ia tak mau jatuh terjerembab.
Ratih membenarkan ujung dressnya sejenak. Mengamati tatanan rambutnya lewat ponselnya dan menghela napas kasar. Saat-saat seperti ini, mulailah sifat tidak pede nya keluar. Dilihatnya Maes yang bertanya ragu. "Aku cantik gak?"
"Jelek! Rok lo kependekan!"
"Jahat lo sama gue!"
"Hahahaha. Untung bawa mobil. Konyol kalau aku boncengin kamu pake motor," kata Maes geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNWANTED YOU [Completed]
Novela JuvenilBook #2 dan #3 ada disini! Book #2 selesai ✓ Book #3 on going . . . Ada harapan di balik lipatan origami bangau yang diberikan Candra malam itu. Ratih pikir dirinya akan seperti mayat hidup ditinggalkan Candra delapan tahun. Namun, hidup terus berja...