DUA PULUH TUJUH
Hari pertama ujian nasional. Ada yang panik, alias demam panggung. Biasanya orang-orang ini tangannya akan berkeringat bahkan sebelum mulai peperangan. Beruntungnya, ujian nasional tahun ini berbasis komputer. Jika paper based test? Dipastikan LJK langsung rusak ditempat kena keringat. Mungkin kelemahannya hanya satu, sedikit gemetar dalam mengetik dan memegang mouse. Jenis orang pertama ini adalah Retta. Berkali-kali gadis itu meringis kesal karena gemetar di tangannya tak kunjung berhenti.
Jenis orang yang kedua adalah mereka yang santai dan memasang tampang cool. Sambil menunggu masuk ruang ujian, mereka-mereka ini malah tertawa cekikikan dan tak merasa gugup sama sekali. Orang-orang yang begini, biasanya karena mereka sudah membeli kunci jawaban atau mendapatkan bocoran kunci maupun soal dari anak sekolah lain atau bandar. Entah itu valid atau tidak, yang penting dapet kunci! Siapakah salah satu contoh anak yang lempeng-lempeng saja? Siapa lagi kalau bukan Dani cs. Bukannya membaca buku atau apa, itu anak malah sibuk menghapal a,b,c,d atau e dari grup kelas yang mendapat serangan fajar berupa bocoran kunci jawaban.
"Dan, kita tuh gak tahu itu kunci bener atau enggak. Lagian dua puluh paket soal. Gila lo! Kalo itu salah gimana?" Ratih mencoba memperingatkan Dani.
Ratih merasa sedikit kesal juga karena menjelang ujian nasional seperti ini tersebar banyak kunci jawaban palsu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Bukannya kalau benar dia mau ikutan pake kunci. Bukan. Ini masalah sikap sportif yang harus dijunjung anak-anak kelas dua belas. Hello man! Lo udah mau jadi mahasiswa. Dan perbuatan pake kunci jawaban itu menurut gue gak keren abis.
"Santai. Gue gak goblok-goblok banget kali, Tih. Ini nanti melewati proses verifikasi dulu kok hahaha."
"Udah, Tih. Gak usah dengerin orang ngaco kaya Dani. Gak lulus UNAS biar mampus dia." Retta berkata sewot.
Dani sontak melotot. "Amit-amit, Ret!"
"Ret lo jangan pake kunci jawaban ya? Gak bener itu! Biar hasil jelek yang penting usaha sendiri," nasehat Ratih.
"Siap bossss."
Beberapa menit kemudian bel tanda masuk ruang ujian berbunyi. Seluruh anak mulai kasak-kusuk. Ada yang saling memberi semangat antar teman. Ada yang masih menghapal beberapa kalimat dari buku. Ada yang berdoa pada Tuhan semoga dilancarkan dalam mengerjakan. Yang jelas, suasana seperti ini hanya ada setahun sekali.
"Semangat ya kalian!"
Ratih mengucapkan kalimat terakhir pada teman-temannya sebelum ia memasuki ruang ujian yang berbeda dengan Retta ataupun Dani. Sekolah selama tiga tahun, ditentukan hari ini, juga empat hari kedepan.
***
"Gimana tadi bisa ngerjain?"
Ratih melirik Jordan yang berada di sampingnya. Mereka sedang berjalan menyeberangi lapangan basket untuk ke parkiran. Tadi Jordan menawarkan tumpangan pulang dan Ratih mengiyakan karena langit mendung, pasti sebentar lagi hujan akan turun. Kebetulan juga Ratih lupa membawa payung. Jadilah keputusan nebeng Jordan menjadi pilihan yang sangat bijaksana. Lagipula, Ratih sedang mencoba bersikap biasa saja pada cowok itu—di balik segala masalah rumit yang sedang membelit mereka.
"Alhamdulillah lumayan. Kalo lo gimana?"
Jordan menyeringai. "Cuma unas. Apa peduli gue?" kata Jordan menaikkan sebelah alisnya sambil satu tangannya membuka pintu penumpang untuk Ratih. "Masuk, gih."
Ratih memasuki mobil sambil memutar bola matanya kesal. Tipikal cowok tersantai sejuta umat, faktanya unas salah satu penentu kelulusan, tapi masih bisa berkata seperti yang dikatakan Jordan barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNWANTED YOU [Completed]
Подростковая литератураBook #2 dan #3 ada disini! Book #2 selesai ✓ Book #3 on going . . . Ada harapan di balik lipatan origami bangau yang diberikan Candra malam itu. Ratih pikir dirinya akan seperti mayat hidup ditinggalkan Candra delapan tahun. Namun, hidup terus berja...