TIGA PULUH
Kalau ditanya apa yang dipikirkan Jordan sekarang, cowok itu tak bisa menggambarkan apa pun lagi. Khawatir, kecewa pada dirinya sendiri karena tak bisa menjaga Ratih--meskipun kalau ditanya bukan tanggung jawabnya--marah semarah-marahnya pada semua orang. Dan Rasanya sesak. Memikirkan Ratih bisa saja terluka membuat hatinya serasa diiris-iris--berdarah namun tak kelihatan.
Terima kasih pada teknologi. Pada siapa pun ilmuwan yang telah membuat gps. Hingga menemukan Ratih tak sesulit mendapatkan hati gadis itu.
Ah! Mengapa saat-saat genting seperti ini dia masih saja galau.
"Gua ikut lo."
Jordan hampir saja mengumpat kala pintu penumpang di sampingnya terbuka dan seseorang yang sedari tadi menjadi pusat perhatian seisi ballroom masuk lalu duduk dengan seenak jidatnya. Jordan bisa saja berkelahi dengan cowok ini sekarang, tapi fokusnya tak lagi di situ. Ia harus menemukan Ratih secepatnya sebelum Ali bertingkah macam-macam.
"Lo keluar sekarang sebelum kesabaran gua habis."
Maes malah memakai seat belt dan menyeringai. "Kalau kesabaran lo habis emang mau ngapain? Gak usah sombong jadi orang. Lo bakal butuh gue. Seriusan."
"Kenapa? Apa karena lo jago berantem dan bunuh orang udah jadi kebiasaan lo? Jadi lo pikir cuma lo yang bisa selametin Ratih?!"
"Gue gak mau sombong sih tapi emang itu kenyataannya. Dan selagi lo sibuk nyiyir begini, bisa aja seseorang yang culik Ratih itu udah ngiris-ngiris cewek gue pakai pisaunya—"
"LO BRENGSEK!!!" sambar Jordan cepat. "Urusan kita belum selesai soal Naswa. Habis ini gue akan bikin perhitungan sama lo!" tambah Jordan. Ia lalu mulai mengemudikan mobilnya ke arah selatan.
Naswa? Maes memutar otaknya. Dia ingat seorang gadis, putri tunggal dari keluarga kaya raya yang menjadi misinya beberapa bulan lalu. Jadi masalahnya adalah dia? Dan kebetulan apa dia bisa bertemu dengan orang yang akan mengungkit kembali masalah itu. Jangan-jangan menghilangnya Ratih kali ini gara-gara dirinya.
"Udah tau mereka di mana? Udah lacak pakai gps?" tanya Maes.
"Udah," jawab Jordan singkat.
Lalu beberapa menit setelahnya tak ada percakapan yang terjadi. Keduanya sibuk larut dalam pikiran masing-masing. Sementara Jordan semakin melajukan mobilnya dengan cepat. Bergelut dengan waktu yang bisa saja membunuh Ratih kapan saja. Dia tak menyangka Ali bisa berbuat suatu hal senekat ini. Sepertinya dendam sudah menguasai otak sahabatnya itu. Dan jika hal buruk terjadi pada Ratih, ia bersumpah tak akan memaafkan dirinya sendiri.
"Sejak kapan Ratih mau pacaran sama psikopat?" Jordan memulai pembicaraan lagi.
"Gue bukan psikopat."
"Hah! Lo bohongin Ratih? Jangan-jangan Ratih gak tau selama ini pacar dia itu ternyata suka bunuhin orang."
Maes menatap cowok di sampingnya ini dengan sinis. "Lo siapa? Omongan lo itu udah kaya paling kenal sama gue aja."
"Gue emang gak kenal sama lo, tapi gue tau kalo lo adalah cowok paling brengsek yang pernah gue temuin. Lo jadiin Ratih pacar, tapi punya hubungan lain sama Ali. Bahkan lo sampai tidur sama temen gue! Kemana otak lo? Di dengkul?!"
"Hah? Ali siapa—"
"ANJING YA LO!" Jordan langsung mendorong tubuh Maes ke arah pintu. Melepaskan tangannya dari setir dan tak peduli dengan laju mobilnya. Jordan tak habis pikir cowok ini bisa-bisanya melupakan seorang cewek dengan mudah. Mana udah ditidurin lagi. Dia ini laki hidung belang atau apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNWANTED YOU [Completed]
Fiksi RemajaBook #2 dan #3 ada disini! Book #2 selesai ✓ Book #3 on going . . . Ada harapan di balik lipatan origami bangau yang diberikan Candra malam itu. Ratih pikir dirinya akan seperti mayat hidup ditinggalkan Candra delapan tahun. Namun, hidup terus berja...