DUA PULUH DELAPAN
"Ratih! Gue tunggu di gerbang depan!"
Samar-samar Ratih mendengar suara salah satu temannya, namun ia tak bisa menjawab karena suasana koridor kali ini sudah penuh dengan banyak murid yang bersorak-sorai. Wajar menjadi ramai karena beberapa menit yang lalu bel tanda ujian nasional mata pelajaran terakhir berbunyi. Bel yang mengakhiri segala perjuangan selama tiga tahun menempuh pelajaran di bangku SMA. Pertanda mereka telah bebas. Perihal hasil? Serahkan saja pada Yang Maha Kuasa.
"Oke! Gue nyusul entar!" jawab Ratih setengah berteriak.
Rencananya, teman-teman sekelas akan mengadakan bakti sosial di sebuah panti asuhan di daerah Senen. Dani—sang ketua kelas—mengusulkan sebuah perayaan sehabis ujian nasional dengan acara yang anti mainstream tapi tetap keren—hingga tercetuslah—baksos di panti asuhan. Awalnya semua anak melongo tak percaya mengapa orang model Dani bisa memiliki hati semulia itu. Apa pun alasannya, jadilah—12 IPS 3—di saat kelas lain memilih konvoi motor ke jalanan sebagai bentuk suka cita mereka karena unas telah berakhir, kelas ini memilih menyalurkan rasa syukur mereka dengan berbagi kepada saudara-saudara di panti asuhan.
Sialnya Ratih harus menyelesaikan urusannya dahulu dengan seorang cowok yang seminggu ini terus menerus mengganggunya di line. Ratih sudah berkata bahwa cowok itu salah kirim dan salah orang. Tapi si cowok tetap ngotot ingin ketemuan dan membuktikan sendiri bahwa dia tidak salah orang. Jadilah Ratih menjanjikan sekarang bertemu di gerbang belakang.
"Mana lagi orangnya? Keburu gue ditinggal anak-anak elah," dumel Ratih sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling trotoar.
Ratih mengambil ponselnya dari saku kemudian menelpon cowok tidak jelas itu. Ketika dering pertama langsung terangkat, suara cowok di seberang terlihat tergesa-gesa.
"Ratih? Sori-sori gue lagi di minimarket beli air."
"Hah? Masih lama gak gue mau pergi nih."
"Sebentar aja. Gue cuma di minimarket deket gerbang belakang sekolah lo."
"Buruan!" bentak Ratih langsung mengakhiri panggilan.
Kalau bukan karena masih di area sekolah, Ratih tak akan berani menemui orang asing—apalagi seseorang dari dunia maya. Setelah ini jika si cowok sudah puas bahwa dia memang salah orang, Ratih akan private id line nya dan tak lagi menanggapi orang-orang iseng. Bukan sekali ini Ratih mendapatkan pesan sok salah kirim dari banyak cowok, berkali-kali banyak pesan datang yang berakhir dengan modus mengajak ketemuan. Makanya cewek itu sudah lelah dan males abis.
"Ratih!"
Sebuah suara mengagetkan Ratih. Cewek itu melihat di depannya sudah berdiri seorang cowok tinggi berambut gondrong. Wajahnya sawo matang dengan hidung mancung juga kumis tipis yang tak luput dari pandangan Ratih. Sekilas, gadis itu hampir mau bilang kalau ada bule india kesasar. Tapi cowok di depannya ini tak punya brewok. Cowok ini mengenakan kemeja hitam dan jeans biru dongker. Sepatu converse putih menambah penampilan ala-ala anak kampus. Atau cowok ini memang habis dari ngampus?
"Siapa lo?" tanya Ratih cepat.
"Banyu. Lo gak lihat dp gue emang?"
Astaga! Dia si cowok salah kirim itu. Ratih pernah sekali membuka display picture Banyu namun kalau tak salah waktu itu dp nya rambut gondrong Banyu dikucir, makhlum Ratih hampir tak mengenali cowok di depannya sekarang.
"Yaudah lo udah lihat gue kan? Lo salah orang jadi berhenti recokkin hidup gue. Jangan lagi lo ngechat, apalagi nelpon gue tiap menit! Lo pikir gue gak punya kerjaan? Hidup gue udah penuh masalah ya jadi jangan lo tambahin!" Sekalian aja gue damprat ini cowok. Batin Ratih.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNWANTED YOU [Completed]
Roman pour AdolescentsBook #2 dan #3 ada disini! Book #2 selesai ✓ Book #3 on going . . . Ada harapan di balik lipatan origami bangau yang diberikan Candra malam itu. Ratih pikir dirinya akan seperti mayat hidup ditinggalkan Candra delapan tahun. Namun, hidup terus berja...