Rei's POV
Gila. Tadi gue gandeng dia, tadi gue yang megang tangan dia. Dan gue deg-degan, gila.
Padahal kita udah biasa megang tangan, gandengan, atau tarik-tarikan dan semacamnya dari dulu. Tapi begitu gue sadar sekarang kita udah pacaran, semuanya jadi beda. Hwanjer. Kenapa perasaan gue jadi aneh gini?
"Weh, Rei." Tiba-tiba Seto datang menghampiri meja gue, seketika kegiatan beres-beres tas gue terhenti. Padahal gue lagi buru-buru, dan tumben-tumbennya gue rapihin tas dan kolong meja gue. Jadi gue berusaha menganggap dia tidak ada dan terus mengorek-ngorek kolong meja gue yang sudah penuh dengan lembaran kertas, entah itu ulangan dengan nilai sempurna yang gagal atau coret-coretan gue ketika pelajaran matematika. "Lu ngapain, sih?"
"Beres-beres." Ye, dasar bego. Seto itu lagi nggak ada di sini, lagi nggak ngajak lu ngomong, atau mengganggu ketenangan beres-beres buku lu. Ngapain lu ajak bicara?
"Bukan itu maksud gue..." Seto setengah menahan tawanya kemudian duduk di meja depan gue, kemudian meletakkan tasnya di atas meja. "Maksud gue, lu ngapain sih kemarin sama Nao di halte?"
Sialan, pasti dia juga dengar cerita si Naomi.
"Yagitu, lu bukannya udah tau?" Tanya gue balik sambil memisah-misahkan mana yang coret-coretan dan mana yang hasil ulangan, meski sebenernya nggak ada bedanya.
"Iya, Nao ngajak lu jadian, kan?"
Beuh, bener, kan. "Semacam itu lah."
"Terus kenapa lu terima gitu aja? Kok lu gak ngasih tau dia?"
"Karena gue baik hati dan tidak sombong, serta rajin menabung." Jawab gue asal, kemudian memakai tas gue dan berdiri dari kursi gue. "Udah ya bro, gue balik dulu. Lagi buru-buru, nih." Lanjut gue lalu berjalan melewati Seto sambil pura-pura tidak mendengar suaranya yang manggil-manggil gue. Ngasih tau apa coba maksud dia?
Ya, gue emang lagi buru-buru, kok.
Gue berjalan terus menyusuri koridor, mencari-cari si alasan gue buru-buru itu. Akhirnya gue liat dia, yang sekarang lagi berdiri di kantin, bareng dua orang perempuan entah siapa, tapi kayaknya mereka beberapa kali nyapa gue.
"Tapi Nao, lu sama dia kan enggak saling cinta. Percuma, bahagia yang lu bilang kayak tadi itu nggak bakal ada."
Eh?
"Iya. Entar lu kayak begitu malah enggak dapet orang yang beneran lu cintai. Kasian juga si Rei, siapa tau dia sebenernya punya orang yang dia sukain jadi enggak bisa jadian sama dia. Lu juga sama jadinya, kan?"
"Nao." Tanpa pikir panjang gue langsung nyamperin si Nao yang kayaknya lagi dicuci otaknya itu, dan langsung menarik tangannya--untuk yang kedua kalinya hari ini. "Ayo pulang, gue anter."
"Hah? Anter?" Nao dengan tampang begonya malah balik nanya begitu ke gue, lalu dadah-dadah ke dua orang tadi itu. "Bukannya kita mau naik bis?"
"Enggak. Gue bawa motor. Mulai semester ini gue udah bawa motor, gue naik bis cuma pas ada ekskul." Balas gue sambil terus jalan dengan posisi tangan gue menggandeng tangan dia, ke parkiran belakang sekolah. Kok kayaknya ini pernah terjadi dah.
Dheg.
Oh iya. Gue lagi gandeng tangan dia.
Gue perlahan melepas genggaman tangan gue ketika sudah sampai di parkiran belakang sekolah, kemudian gue liat Nao. Mukanya memerah.
Hwanjer. Dia udah sadar kayaknya.
"...R-RRei!! Sekarang gue di London, tttiga jam lagi gue dimana!!??" Tanya Nao random, masih dengan mukanya memerah.
"Eh, Norwegia?" Jawab gue refleks.
"Salaah, gue masih di London!" Serunya sambil ngancungin jempol ke gue, kemudian jempolnya dibalik. "Satu dare, ya! Sama yang minggu lalu jadinya dua!"
"Dih, mana bisa gitu? Cara lu beda, ya?" Balas gue nggak puas, sambil mengambil kunci motor dari saku gue.
Lah kok gue malah ikutan jadinya.
"Sebentar, deh. Lu jelasin gue dulu, itu tadi dua cewek yang sama lu siapa dan maksud mereka apaan." Kata gue berusaha serius, kemudian duduk di motor sambil menyalakan motor.
Nao kemudian berpindah posisi, kini dia berdiri di sebelah gue yang sudah mulai menyalakan mesin motor. "Eh, itu dua orang tadi anak kelas sebelah. Sebenernya sih gue enggak terlalu kenal mereka, tapi kayaknya salah satunya suka sama lu deh."
Tuh kan. Bukannya geer, tapi dari dulu sering banget ada kejadian kayak begini. Untung aja Naomi itu orangnya semuanya dibawa santai sama dia.
"Eh, lu marah ya Rei? Sori ya, mereka jadi ngomongin lu, dan kesannya gue juga ikutan. Tapi ngomonginnya nggak jahat, kok, beneran!" Serunya melas ke gue, kemudian menghadapkan wajahnya ke wajah gue. Sekarang mata kita saling bertatapan.
Dheg.
Sialan, gue kenapa dah.
"Yaudah, naik aja." Balas gue berusaha tidak peduli setelah memundurkan motor gue lalu memakai helm gue. "Lu mau tau rasanya pacaran, kan? Sekarang gue lagi berusaha, nih."
"Hah?" Tanya Nao balik, lalu dia seperti teringat sesuatu dan tanpa pikir panjang langsung naik di boncengan gue. Ini deja vu bukan sih.
"Tapi awas ya kalo kenapanapa, pokoknya kalau kenapanapa lu harus tanggung jawab dan dare lu jadi nambah satuuu!" Teriaknya di kuping gue tiba-tiba. Untung gue pakai helm, kalau enggak mungkin gue langsung tuli seketika.
"Paling kalau kenapanapa juga disebabkan oleh lu." Balas gue ikut teriak juga, lalu mulai menjalankan motor gue.
Kalai dipikirpikir, gue emang baru pertama kalinya bonceng Naomi naik motor. Malahan ini pertama kalinya gue bonceng cewek selain ibu gue atau adik gue. Dan lagi, sekarang gue sebagai pacarnya.
Gue mikir apaan, sih.
"Wuuhuuuuuuuw!!!!" Teriak Nao tibatiba sambil megangin pundak gue. Dia kira odong-odong kali, pffttt.
"Diem lu, nanti gue ditampol polisi." Balas gue setelah menahan tawa sedikit. Tapi kayaknya Nao bisa mendengar suara gue menahan tawa yang sepertinya lebih terdengar sebagai suara kentut.
"Yang ada polisinya entar naksir sama lu juga, Rei!" Balasnya sambil tertawa. "Yaudah sih kalau mau ketawa tinggal ketawa aja, biasanya malah lu yang gila duluan, kan. Eh ada kuciiingggg haaiiiiii!!!"
Sumpah random banget ini cewek, kenapa gue baru sadar sekarang ya pfft. "Kalau kenapanapa semuanya salah lu ya, jadi dare lu nambah satu." Balas gue kemudian tertawa.
"Diih, gamaooo! Kalau dare gue nambah satu, lu bayar dulu dare lu yang kemarin! Teriak 'aku kepengen pup di celana' sekarang!!"
Sialan, pfft.
Dan akhirnya gue dan Nao menggila lagi seperti biasanya. Seperti neriakin kucing, neriakin ayam, sampai neriakin temen. Juga nyanyi-nyanyi gak jelas dan sebagainya. Kita juga berdebat gila seperti yang biasa kita lakuka di sekolah, kayak kenapa kentut itu bau dan kenapa yang namanya Naomi bisa dongo banget. Pokoknya semua salahkan itu cewek. Untungnya gue enggak ditampol polisi.
Dan gue sampai lupa kalo saat itu status kita sudah jadi cewek dan cowok. Eh maksud gue Nao udah jadi cewek gue dan gue udah jadi cowoknya Nao. Gue kemudian membelokkan motor gue.
"Loh, mau kemana bos? Jangan bilang gara-gara lu naik motor lu jadi buta arah." Balas Nao masih dengan otak gilanya.
"Gue laper, kita cari makan dulu yuk." Balas gue setelah diam beberapa detik. Gila, ngeluarin kalimat gitu doang susah amat.
"Ah elu, I have no money lefttt." Keluhnya. Kelihatannya dia masih nggak sadar kalo gue lagi serius.
"Gue yang bayarin." Jawab gue. "Kan lu sekarang cewek gue, gimana sih."
***
bersambungyeyey! maaf kalo tidak sesuai harapan hehe. jangan lupa vote dan komen dan baca Flat No.312 yaaa! sankyuuuuuu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby in Love
Teen FictionDimana ada Abigail Naomi, pasti disana juga ada Alexander Reinhard. Pokoknya, mereka duo gila yang tak pernah terpisahkan, karena dalam setiap hal pasti ada aja kelakuan mereka yang selalu menimbulkan gelak tawa. Gak heran sih, karena kabarnya merek...