"Iya." Jawabnya langsung, tanpa ragu. "Kemarin.... gue jalan sama Daniel."
Rasanya seperti ada sebuah paku yang masuk ke tenggorokan gue. Dada gue langsung terasa sesak.
"...Daniel?" Gue bingung banget kenapa dia bisa jalan sama Daniel. Tapi mereka memang dekat sih kalau berdasarkan cerita dari Nao yang suka cerita-cerita dengan Daniel. Jadi gue mencoba untuk tenang. "...Iya. Terus?"
Nao kemudian terdiam sesaat. Mendengar kesunyian itu, gue jadi semakin takut untuk mendengar responnya.
"Terus...." Perempuan itu mulai mengeluarkan suara. "...Rei, gue rasa kita harus udahan, deh."
Gue mengedipkan mata.
"Hah?"
"...Iya. Kayaknya pacaran kita udahan aja. Em... Kita--putus, gitu kan?"
///
Nao's POV
Apakah yang gue lakukan ini benar?
Kata-kata itu mengalir begitu saja. Memang, kita selama ini hanya pacaran main-main. Tapi hati gue rasanya benar-benar remuk, nggak main-main. Gue rasa, gue benar-benar sudah suka dengan Rei. Tapi gue harus melakukan ini, untuk memberikan kepastian di antara kita, untuk memberikan Rei ruang terhadap kisah cintanya sendiri.
"Hah?" Tanggapan Rei pertama kali, persis dengan yang ada di bayangan gue. "Kenapa, kok tiba-tiba?"
"Em, Gak tiba-tiba, kok..." Memang nggak tiba-tiba, Kok. Semenjak perbincangan gue dan Layla di McD waktu itu, gue sudah mempertimbangkan mengenai ini. Gue sadar, bahwa selama ini gue egois. Gue dengan seenaknya menggunakan Rei dan mengurungnya sendiri untuk menjadi "pacar" gue, membuat Layla sakit melihatnya, tutup mata akan perasaan Daniel terhadap gue.
"Daniel kemarin ngomong apa ke elu?" JRENG! Kenapa pertanyaannya harus pas banget?
"Eng--nggak ngomong apa-apa, kok..." Kenapa gue malah bohong? "Gue ngerasa pacaran begini nggak ada gunanya aja---kita sama aja kayak dulu pas temenan. Bukannya lebih baik lu cari em.. buat lu sendiri?"
"Hah?"
"Lu kan populer, Rei..." Mulut gue seperti bergerak sendiri. "Em... Gue rasa, pasti lu mau juga kan membangun cerita cinta lu sendiri dengan orang yang lu sukai? Gue.. gak mau jadi penghalang untuk itu. Selain itu, gue juga harus mulai serius dalam hal ini, kan?"
Serius apanya? Yang ada di pikiran gue saat ini hanyalah Alexander Reinhard. Kalau gue serius kenapa gue malah ngomong begini?
"Naomi..." Gue dapat merasakan Rei berjalan mendekat, biarpun pandangan mata gue lurus ke tanah. "G---"
LINE!
"Kak Rei?"
Kami berdua otomatis menoleh.
"Iya?"
"Kak Rei nggak cek group? Udah dicariin di grup tuh, katanya Bu Melly mau ngomong dul---" Layla, yang masih berada di depan kelas tiba-tiba berhenti berbicara. "---Eh sori, ganggu..."
"Eng, gak apa-apa, La! Aku udah mau balik juga, kok. Dah, Rei!" Ucap gue cepat, mengenakan tas gue dan segera meninggalkan mereka berdua. Sayup-sayup terdengar seseorang yang berusaha memanggil nama gue, namun langkah kaki terus gue ambil.
Hah...
Kenapa malah gue akhiri begini, ya?
***
"HAH?"
"Kenapa gue di-Hah in kayak keong?" Tanya gue balik.
"Nao! Ini serius ih. Jadi lu sama Rei udah putus sepihak dari lu!?" Kalau Ayu yang ngomong, gue berasa menjadi orang terjahat sedunia. "Kenapa gak lapor ke gue dari hari-H!"
"Habis..." Gue bener-bener nggak kepikiran untuk merusak mood orang saat itu. Pagi ini, seluruh anak kelas 2 akan berangkat ke Jogja untuk study tour. Ayu sudah antusias banget dari lama, dan gue nggak mau merusak kebahagiaannya. Selain itu, gue lebih ingin diskusi secara langsung seperti ini daripada lewat chat.
"Yaudah, biarin. Lagian lu kenapa putusin dia, sih? Kenapa nggak langsung ngomong aja perasaan lu?" Kini Ayu mulai mengecilkan suaranya, takut anak-anak lain yang sedang asyik mengobrol sambil menunggu jam keberangkatan bersama di aula sekolah tidak sengaja ikut mendengarkan.
"Gue..." Ujar mulut gue, entah mengapa terdengar lirih. "...Gue gak mungkin ngomong gitu lah..."
Gue takut.
Gue takut harus mendengar penolakan dari Rei. Gue takut semua hal diantara kita jadi terasa aneh. Gue takut... gue takut kita gak jadi teman lagi.
Tapi rasa sakit di hati gue nyata sekali. Rasa senang ketika bersama Rei, debaran dada tiap melihat senyumnya, rasa sakit ketika tahu akan kehilangan dia.
"...Nao... lu gapapa?"
Begitu disadarkan oleh ucapan Ayu, dengan cepat gue mengusap mata gue dengan lengan swater yang gue pakai dan segera menunduk. Gawat kalau sampai ada yang melihat gue menangis. Apalagi Rei.
"Ayu."
Seluruh tubuh gue berdesir begitu mendengar suara khas ini.
"E-eh, Rei... lu baru dateng?"
"Udah dari tadi, kok. Yu, Gue boleh ngomong sebentar gak sama Nao?"
Gue semakin menunduk dan menutupi wajah dengan tas ransel gue saking malunya. Mengapa sih ini semua harus terjadi?
Tanpa balasan apapun dari Ayu, gue dapat mendengar suara seseorang bergerak menjauh dan orang lain mendekat ke arah gue. Setelah itu, gue dapat merasakan sentuhan di rambut gue yang membuat badan gue kembali berdesir hebat, seakan tersengat listrik beribu-ribu volt.
"Kenapa lu nangis?" Tanya suara tersebut lembut. Mampus gue.
"G-Gue gak nangis kok!"
"Bohong banget anjir." Jawabnya lagi, kemudian mengacak-acak rambut gue, yang membuat gue mendongak kesal, namun kekesalan itu seakan berlalu begitu saja begitu mata gue bertemu dengan matanya. "...Nah gitu dong. Dari tadi nunduk melulu."
Gue gak bisa berkata-kata lagi, saking sakitnya terasa dada ini.
"Naomi, nanti malam akan ada jam bebas..." Rei setengah berbisik. "...Tolong kosongkan waktu itu buat gue, ya. Banyak banget yang mau gue omongin sama lu."
Gue gak tahu lagi bagaimana harus bersikap.
Apa yang mau diomongin?
Kenapa gak sekarang aja?
Kenapa harus malam?
Rei mau omongin apa?
Apakah Rei mau... dia sendiri yang mengakhiri ini semua?
"BUS 3, BISA NAIK DAN BAWA BARANGNYA KE BUS SEKARANG YA!" Suara Pak Bambang dari pengeras suara membuyarkan suasana canggung ini.
"Itu bus gue. Pokoknya jangan sampai lupa ya, Nao. Jangan bilang siapa-siapa juga!" Bisiknya lagi, kemudian melambaikan tangan kepada Ayu tanda ia sudah selesai. Bahkan gue belum sempat bilang iya atau tidak. Gue terlalu takut mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Dah Rei! Eh Nao, habis ini berarti bus kita." Ayu datang sambil menyusun kembali tas besarnya. "Tadi Rei ngomongin apa sih?"
"....Gak tahu."
***
Sepanjang perjalanan, gue hanya diam sambil mendengarkan lagu di handphone gue, mencoba mengalihkan pikiran dari kejadian tadi.
"Nao mah galau melulu.... Ayo dong kita harus seneng!" Seru Ayu yang secara ajaib satu bus dengan gue. "Nah ini bus nya lagi berhenti nih di rest area. Beli jajanan dulu mau ga?"
Di saat semacam patah hati begini, emang paling pas sih buat jajan dan makan. Gue kemudian mengangguk sambil berjalan keluar bus mengikuti Ayu dan anak-anak lainnya menuju mini market dekat dimana bus parkir.
"Stroberi.. Stroberi.." Gumam gue sambil mencari rasa susu kotak kesukaan gue tersebut, sedikit meringankan pikiran gue. "Heee... Dapet! Yu, nih susu str--"
Saat gue menoleh, yang muncul bukannya Ayu, malah cowok basket bermuka korea yang kemaren nembak gue.
"Hai Naomi." Dia tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby in Love
Teen FictionDimana ada Abigail Naomi, pasti disana juga ada Alexander Reinhard. Pokoknya, mereka duo gila yang tak pernah terpisahkan, karena dalam setiap hal pasti ada aja kelakuan mereka yang selalu menimbulkan gelak tawa. Gak heran sih, karena kabarnya merek...