10

58 10 46
                                    

“Kau menyukai Sora, kan?”

Sanada diam, begitupun Yasui. Yasui bisa melihat keterkejutan di mata Sanada, walaupun ekspresi kawannya itu tetap tenang. Yasui menggeram, dia mencengkeram kerah seragam Sanada. “Kenapa kau diam saja?” tanya Yasui, “kenapa kau diam saja?!” Yasui mengguncang tubuh Sanada. “Jawab pertanyaanku!”

Sanada masih diam. Yasui mendorong Sanada, dia sangat terpukul dengan fakta yang dihadapkan kepadanya. “Kenapa?” Yasui, “kenapa kau tidak memberitahuku sejak awal?! Kau menyembunyikan semua dariku, Sanada!”

“Memangnya apa yang akan kau lakukan kalau kau tahu sejak awal? Menyerahkan Sora begitu saja kepadaku?” tanya Sanada.

Yasui terbelalak, dia menatap Sanada kaget. Bagaimana bisa Sanada mengucapkan pertanyaan itu dengan tenang? Sanada menghela napas, dia mendekat kepada Yasui dan berucap, “Aku tidak mengatakan apa-apa karena aku tahu Sora lebih menyukaimu, dia hanya melihatku sebagai sahabatnya. Kalau aku mau, aku bisa saja mengungkapkan perasaanku lebih dulu. Tapi aku memikirkan persahabatan kita, memikirkan resiko apa yang harus kuhadapi kalau perasaanku ditolak.” Sanada menghela napas, dia menatap Yasui yang tercengang. “Aku hanya mendoakan kalian bisa bahagia,” ucap Sanada, dia tersenyum dan menepuk pundak Yasui. “Tapi,” senyum Sanada lenyap, “kalau aku melihatmu melukainya, aku tidak akan ragu untuk merebutnya darimu.”

Deg.

Yasui terhenyak, dia tercengang menatap Sanada yang juga memberinya tatapan tajam. Sanada menghela napas, dia melangkah menjauhi Yasui yang masih mematung. Yasui terhuyung, tubuhnya lemas seketika. Apa-apaan ini, kenapa dia harus menghadapi keadaan seperti ini? Sanada menyukai Sora, dan dia merahasiakan itu sejak lama.

Kenapa harus ada drama seperti ini?

*

Pagi ini cuaca sangat cerah…

Sekolah sangat ramai. Murid kelas satu dan dua memakai seragam olahraga, dengan pelengkap berupa ikat kepala berwarna sesuai dengan kelas mereka. Baik di lapangan maupun di gymnasium sudah dipenuhi murid-murid. Staf pengajar juga memakai pakaian olahraga, mereka berkumpul di gymnasium untuk menyaksikan pertandingan basket antara kelas 2A dan 2B. Murid-murid perempuan tampak memenuhi bangku penonton, mereka menyoraki pemain basket idola mereka.

Haru, Taiga, Shori, Kishi, dan Kai berdiri di lantai dua, menatap kawan-kawan mereka di lapangan basket. “Coba lihat, banyak sekali anak-anak yang mendukung kelas kita,” ucap Shori. “Wajar saja, ada Jesse dan Hokkun disana. Mereka memang idola,” komentar Taiga. Haru dan Kai hanya tersenyum geli melihat Jesse dan Hokuto tampak menikmati perlakuan fans mereka. Tampak sesekali Hokuto melemparkan cium jauh, dan Jesse mengedipkan mata sambil melempar senyum sejuta watt yang semakin membuat gadis-gadis itu berteriak. Haru menoleh, di sisi lain terlihat Myuto dan Hagiya melakukan pemanasan. Haru tersenyum, dia tahu Myuto akan selalu mempersiapkan semua dengan matang.

“Morita-Kuuuunn! Ganbatte ne!”

Gubrak!

Haru terjungkal, dia menatap kaget Erina yang entah sejak kapan ada di dekatnya. Teman-temannya juga ada disana, bersorak keras menyemangati tim kelas 2B. Haru menoleh, dia melihat Myuto melambaikan tangan. Entah Myuto melambaikan tangan kepada siapa, Haru atau Erina. Masalahnya mereka berdiri bersebelahan. Erina memekik, dia berkata dengan suara cukup keras, “Morita-Kun melambaikan tangan kearahku! Dia memperhatikanku!” Erina menekan kata memperhatikan sambil melirik sekilas kearah Haru.

“Jangan terlalu percaya diri, Hanazawa,” sahut Kishi, “ada kami disini, dia bisa saja tidak melambaikan tangan kearahmu.” Kishi tertawa bersama yang lain, sementara Haru hanya tersenyum tipis. Haru menghela napas, dia berteriak, “Oi, Myuto! Kau tidak akan bisa mengalahkan kelasku!”

Love, Love, Love (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang