27

73 10 42
                                    

Taiga berlari kencang memasuki rumah sakit. Dia menoleh dengan panik, dia mendekati meja informasi dan berucap panik, “Beritahu aku dimana ruang UGD! Cepatlah, aku tidak ada waktu!” Petugas yang berjaga terkejut mendengar ucapan Taiga, dia berucap, “Anda ikuti koridor ini, lalu belok kiri. UGD ada di....”

Tanpa banyak bicara, Taiga segera berlari menyusuri koridor. Taiga tidak bisa memikirkan apa-apa lagi, yang ada di otaknya hanyalah Chika dan Chika. Taiga baru akan makan malam saat dia menerima telepon dari Yudai, yang mengatakan bahwa Chika kecelakaan. Taiga berbelok, dia berlari mendekati Yudai yang duduk di kursi tunggu dan mencengkeram kerah pakaiannya. “Apa yang terjadi?! Bagaimana bisa Chika kecelakaan?!” sahut Taiga keras. Taiga melihat Yudai juga terluka, terlihat dari lengan dan dahinya yang terbalut perban. Beberapa luka memar juga tampak di pipinya. “Aku dan Chika baru saja pulang dari Osaka,” Yudai menjelaskan, “semua berjalan baik-baik saja, sampai ada mobil melintas kencang dari arah berlawanan. Jalanan juga licin, aku tidak bisa mengendalikan motorku.”

“Kau payah!” sahut Taiga, “seharusnya kau berhati-hati!” Taiga mengacak rambutnya frustrasi, dia menatap khawatir pintu UGD yang masih tertutup. Yudai menunduk, dia juga merasa bersalah. Jarum jam berdetak mengiringi ketegangan diantara keduanya. Mereka khawatir dengan keadaan Chika. “Lalu kenapa hanya Chika yang terluka parah?” tanya Taiga.

“Rok yang dikenakan Chika tersangkut di motor, jadi dia ikut terseret beberapa meter,” jawab Yudai, dia tidak berani mengingat-ingat kejadian beberapa jam tadi. Semua terjadi begitu cepat, Yudai bahkan tidak ingat bagaimana dia terjatuh. Dia hanya ingat saat motornya oleng, dan kemudian dia melihat Chika terluka tak jauh darinya.

Pintu UGD terbuka. Taiga bergegas mendekati seorang pria petugas medis yang keluar. “Bagaimana keadaan Konno-San?” tanya Taiga cepat. Pria itu menatap Taiga, dia kemudian bertanya, “Maaf, apa kau keluarganya?”

“Anggap saja begitu, kau ini cerewet sekali,” sahut Taiga gusar, “cepat beritahu aku bagaimana keadaannya.”

Ngek.

Pria itu dan Yudai cengo mendengar ucapan Taiga. Yudai mendekat dengan tertatih, dia membungkuk kecil dan berucap, “Maafkan dia, dia adalah tunangan Konno-San, makanya dia khawatir.”

Pria itu mengangguk paham, dia kemudian berucap, “Lukanya sudah kami obati. Untung saja tidak ada luka serius di organ dalam tubuhnya, hanya saja luka di tangan dan kakinya yang sedikit parah dan membutuhkan banyak jahitan. Saat ini Konno-San belum sadar, kemungkinan besar disebabkan karena trauma.”

Yudai dan Taiga bernapas lega, Taiga merasa seperti ada beban berat terlepas dari dadanya. “Dia akan dipindahkan ke kamar rawat, ruang 3C,” ucap pria itu, “jangan khawatir, dia akan siuman setelah pengaruh obat biusnya hilang.”

“Terimakasih,” Yudai membungkuk kecil. Pria itu melangkah pergi, Yudai dan Taiga langsung menghela napas lega. “Heh, jangan memasang wajah lega begitu,” sahut Taiga ketus, “kau harusnya menyesal. Chika jadi seperti ini kan karena ulahmu.” Taiga mendengus, dia menggerutu, “Kalau terjadi apa-apa dengannya, aku akan membunuhmu.”

“Kau menangis, ya?’ tanya Yudai.

Taiga mengerutkan dahi, dia menyentuh pipinya dan terkejut merasakan pipinya basah. Astaga, sejak kapan Taiga menangis? Dan kenapa dia menangis? Taiga ingat dia merasa sangat sesak di menit pertama dia mendengar Chika dilarikan ke rumah sakit. Dia hanya merasa seluruh tubuhnya memanas, tapi dia tidak sadar kalau menangis. “Kau mau menjaganya disini?” tanya Yudai membuyarkan pikiran Taiga, “aku harus pulang sebentar untuk mengambilkan pakaian Chika. Sementara aku pergi, kau bisa menjaganya disini, kan?’ ’

“Lho, kenapa kau mengambilkan pakaiannya? Kalian kan tidak tinggal serumah,” sahut Taiga.

“Kan aku menghubungi ibunya, kau ini bagaimana, sih?” sahut Yudai.

Love, Love, Love (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang