28

72 9 130
                                    

Kento memasukkan koper terakhir ke bagasi mobil ayah Haru, dia menghela napas dan menutup bagasi lalu menatap orangtua Haru. “Paman, Bibi, terimakasih sudah mau mengantar kami kembali ke Kyoto,” ucap Kento tersenyum, dia membungkuk dalam diikuti Miyachika dan Noeru. Nyonya Miyazaki tersenyum, dia membalas, “Aku juga berterimakasih kalian mau menemani Haru, dan menjadi teman baiknya di Kyoto. Terutama kau Nakajima-Kun, sampai saat ini aku masih tidak habis pikir, kenapa kau rela meninggalkan Tokyo hanya untuk menemani Haru.”

Mendengar itu, Kento terkekeh sambil menggaruk tengkuknya dan menjawab, “Itu namanya cinta, Bibi.”

Ngek.

“Murahan,” dengus Haru, “sudahlah, ayo kita berangkat. Mama, aku berangkat.” Haru memeluk Nyonya Miyazaki erat. Nyonya Miyazaki tersenyum, dia lantas menatap putri semata wayangnya itu dan bertanya, “Kau tidak berpamitan dengan yang lain?”

“Aku sudah berpamitan di pesta akhir tahun kemarin,” jawab Haru tersenyum, dia melangkah masuk mobil. Kento, Miyachika, dan Noeru kembali memberi salam, mereka masuk di jok belakang. Haru menurunkan jendela mobil, dia melambaikan tangan kepada Nyonya Miyazaki saat mobil mulai bergerak menjauh. Haru menghela napas, dia kemudian kembali menaikkan jendela mobil dan bersandar sambil menatap ke depan. “Kau itu anakku,” ucap Tuan Miyazaki sambil menyetir, “kau adalah anakku, dan kau bersamaku sejak kecil.”

Haru menatap Tuan Miyazaki sambil mengerutkan dahi. “Papa, untuk apa kau mengatakan hal itu? Kau pikir aku amnesia sampai kau harus mengucapkan kalau aku anakmu?” ucap Haru.

“Kau lupa karena kau anakku, kau tidak akan bisa berbohong kepadaku, sekecil apapun itu.”

Eh.

Haru tercengang menatap Tuan Miyazaki. “Kau tidak berpamitan dengan mereka, aku tahu itu,” ucap Tuan Miyazaki, “kalau kau berpamitan, mereka pasti datang untuk mengantarmu.” Tuan Miyazaki menghela napas, dia kemudian meneruskan, “Dan aku tahu kau bahkan tidak menghubungi Morita itu.”

Haru terdiam, dia menunduk menatap tangannya. Noeru akan membuka mulutnya, namun dia mengurungkan niatnya saat Kento menyenggol lengannya dan menggeleng samar. “Jangan membahas apapun soal Tokyo di depan Haru-Chan,” bisik Kento, “dia sedang berjuang melupakan perasaannya kepada Morita-Kun.” Kento berdehem, dia kemudian berucap, “Kau jangan diam saja, Haru-Chan. Jangan khawatir, kau akan tetap jadi nomor satu di hatiku.”

“Kau idiot, ya? Merayu seorang perempuan di depan ayahnya,” sahut Tuan Miyazaki.

Miyachika dan Noeru seketika tergelak, sementara Haru hanya tersenyum kecil melihat Kento menjadi salah tingkah. “Kau tahu, Nakajima,” ucap Haru, dia menatap jalanan yang baginya bergerak sangat cepat, “kali ini aku akan menyerahkan Myuto untuk Hanazawa. Aku tahu akan sangat berat menjalankan keputusan ini, hanya saja aku tidak punya alasan lagi untuk memisahkan keduanya. Kejadian malam itu membuatku yakin kalau Hanazawa memang menyayangi Myuto, dan Myuto juga sama.” Haru tersenyum, dia berusaha menahan airmatanya dan menarik napas panjang. “Aku dan Myuto hanya sahabat,” ucap Haru—baiklah, saat ini dia berusaha menekan perasaannya, “tidak akan lebih dari itu.”

Kento diam, dia melihat mata Haru berkaca-kaca menahan tangis melalui spion. Kento menghela napas, dia mengangguk dan mengacak pelan rambut Haru. “Haaaaah, aku sudah tidak sabar kembali ke Kyoto,” ucap Miyachika, “eh, nanti kita main baseball di lapangan yuk.”

Tuan Miyazaki menatap sekilas Haru, dia menghela napas dan kembali menyetir. Sebagai seorang ayah, dia tidak bisa membiarkan putrinya sedih seperti ini. Dia marah kepada Myuto, itu sudah pasti. Baginya, Haru menangis dan merasa sedih bahkan sampai meninggalkan Tokyo karena pemuda itu. Tuan Miyazaki merasa keputusan Haru melupakan Myuto adalah yang terbaik.

Love, Love, Love (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang