23. Jujur?

48.9K 3.4K 114
                                    

Dhiani pulang ke apartemen pada pukul setengah enam. Dilihatnya apartemen masih sepi, Rana belum pulang juga. Dhiani tidak tahu kemana perginya Rana. Sebelum ia izin pamit untuk keluar, Rana masih santai tiduran di kamarnya.

Pengakuan perasaan Rana kepadanya masih terus tergiang di pikirannya. Ternyata perhatian Rana selama ini kepadanya benar-benar tidak dalam hati.

Ting! Tong!

Baru saja Dhiani hendak mendudukkan dirinya di sofa, suara bel terdengar menggema di ruangan ini. Dengan rasa yang masih lelah, Dhiani pergi ke pintu utama untuk melihat siapa yang bertamu pada sore-sore begini?

Ketika pintu di buka, sosok perempuan anggun yang sudah lama Dhiani tidak melihatnya datang dengan senyum manis yang menghiasi wajah cantiknya.

"Assalamualaikum, kak Dhiani." Perempuan itu memeluk erat tubuh Dhiani.

"Waalaikumussalam. Rini, kamu udah pulang?"

Ya, perempuan itu adalah Rini. Rini Yunita. Adik perempuan Rana yang sedang mengenyam pendidikan sebagai mahasiswi di luar kota. Jadi, jangan heran kalau kediaman orang tua Rana selalu sepi.

Rini tersenyum lebar ke arah Dhiani. Dia benar-benar rindu dengan kakak iparnya yang super baik ini. Menurut Rini, Dhiani adalah sosok kakak yang sangat perhatian. Selain itu, Dhiani juga enak sekali untuk di ajak curhat.

"Aku baru datang ke Bandung, Kak. Dan langsung ke sini aja," ujar Rini.

"Kamu gak ke rumah Papa dulu?" tanya Dhiani.

Rini menggeleng. "Enggak."

"Ya udah, masuk dulu yuk!" ajak Dhiani.

Rini duduk di sofa dengan rasa yang masih lelah. Sedangkan Dhiani, sedang pergi ke dapur mengambil minum dan cemilan untuk adik iparnya.

"Kenapa gak langsung pulang ke rumah Papa, Rin? Pasti Papa dan Mama kangen banget sama kamu," ucap Dhiani ketika sudah kembali dari dapur dengan membawa segelas teh hangat dan aneka cemilan ringan.

"Emangnya kakak gak kangen ya sama aku?"

"Ya kangenlah. Sudah hampir dua bulan kamu gak pulang. Kayaknya sibuk banget ya."

"Hehe iya. Maklum, kak, anak kuliahan."

"Assalamualaikum." Sebuah ucapan salam mampu membuat kedua perempuan yang sedang asyik mengobrol mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara.

Ketika mereka lihat, ternyata itu Rana yang baru datang. Rini tersenyum lebar dan bangkit dari duduknya, kemudian ia memeluk erat tubuh Rana. Ia benar-benar sangat rindu dengan kakaknya ini.

"Kamu udah pulang, Rin?" tanya Rana bingung, saat melihat Rini yang tiba-tiba ada di sini.

Rini mengangguk. "Iya. Aku langsung ke sini."

Rana menyentil dahi Rini. "Dasar anak nakal. Harusnya kamu langsung pulang ke rumah Papa."

Rini mendengus kesal sambil mengusap-usap dahinya. "Habisnya kangen sama kakak-kakakku yang baik."

Dhiani yang melihat keharmonisan kakak beradik itu mendadak jadi ingat dengan Yasmine, adiknya yang manja. Walaupun Yasmine selalu menganggunya ketika ia sedang mengerjakan tugas, tapi baginya, Yasmine adalah adik yang selalu menjadi kebanggaannya.

Dhiani ikut bangkit dari duduknya. Kemudian ia menyalami punggung tangan Rana. Meskipun Rana telah membuat luka di hatinya, tapi menghormati suami itu sudah menjadi kewajibannya.

"Kayaknya ada yang mau mesra-mesraan nih. Kalau gitu aku pamit pulang ya." Rini membawa ranselnya yang ia simpan di sofa.

Ia menatap jahil ke arah Rana dan Dhiani. "Aku pulang ya, Kak. Assalamualaikum," pamit Rini.

Setelah kepergian Rini, suasana antara Rana dan Dhiani menjadi canggung. Entah kenapa menjadi seperti ini, yang jelas Dhiani tidak suka dengan suasana ini. Biasanya Rana selalu tersenyum hangat ketika ia baru pulang. Tapi kali ini tidak ada senyuman yang selalu menghiasi di bibir Rana.

"Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan sama bapak," kata Dhiani ketika ia melihat Rana akan memasuki kamarnya.

Rana menatap ke arah Dhiani. "Tanyakannya nanti saja! Sekarang kamu siap-siap untuk sholat Maghrib," jawab Rana.

***

Rana baru pulang dari masjid setelah melaksanakan sholat Maghrib dan Isya. Ia melihat Dhiani yang sedang tiduran sambil memainkan ponselnya. Kaki Rana melangkah mendekati Dhiani dan ikut tiduran di sebelah Dhiani.

Dhiani menatap sejenak ke arah Rana tanpa membuka suara sedikit pun. Mereka sama-sama diam. Rana sedang menunggu Dhiani yang katanya akan bertanya sesuatu kepadanya. Sedangkan Dhiani, ia bingung harus memulainya dari mana? Ia ingin menanyakan soal hubungan Rana dan Sarah.

Mata Dhiani memperhatikan Rana yang masih diam sambil memandang ke arah langit-langit kamar. Sungguh, Dhiani sangat rindu diperhatikan oleh Rana.

"Pak?" Dhiani membuka suara. Ia sudah bosan dengan kehingan yang ia ciptakan. Dhiani yakin, kalau ia yang tidak memulai pasti Rana pun tidak akan memulainya.

Rana melirik sejenak ke arah Dhiani. "Apa yang ingin kamu tanyakan?" tanya Rana to the point.

Dhiani menghela napasnya terlebih dahulu sebelum ia memulainya. "Ada hubungan apa antara bapak dan bu Sarah?"

Rana bangkit dari tidurannya. Ia menatap serius ke arah Dhiani. Kenapa Dhiani sampai bertanya seperti itu padanya? Bukannya Dhiani tidak tahu apa-apa tentang hubungan dirinya dan Sarah. Jikalau ia tahu pun pasti karena kesalahpahaman karena perkataan Aldo dulu.

"Apa maksudmu bertanya seperti itu?" Rana balik bertanya.

"Itu bukan sebuah jawaban," kata Dhiani ikut mengubah posisi tidurannya menjadi duduk.

"Aku dan Sarah hanya sebatas partner kerja. Kamu pun tau 'kan tentang itu?"

Bibir Dhiani tersenyum tipis. "Aku menemukan sebuah diary milik bu Sarah," ucap Dhiani.

Rana masih bisa santai saat Dhiani mengatakan hal itu. Karena dalam buku diary itu tidak ada sesuatu yang menurut Rana penting. Isinya hanya sebuah curahan hati Sarah, dan saat itu pun Sarah belum mencintainya.

"Sekarang aku mau tanya lagi sama bapak," ada sedikit jeda. "Benarkah bapak pernah melamar bu Sarah?"

Kali ini Rana benar-benar dibuat bingung. Dari mana Dhiani tahu soal itu?

"Jawab yang jujur, Pak!"

"Dari mana kamu tau tentang itu?"

"Tidak penting aku tau dari mana. Yang penting, hanya jawaban jujur darimu, Pak."

Kepala Rana menunduk sambil mengangguk. Biarlah Dhiani tahu tentang masa lalunya. "Tapi Sarah menolaknya. Jadi, antara aku dan Sarah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kami hanya sebatas partner kerja."

"Aku pun melihat bu Sarah masuk ke dalam mobil Bapak ketika waktu itu aku meminta Bapak untuk mengantarku membeli alat-alat untuk praktik."

Mati kutu. Rana benar-benar tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kenapa Dhiani baru mengatakannya sekarang, kalau ia melihat Sarah dan dirinya satu mobil?

Rana berpikir keras agar Dhiani tidak berpikiran macam-macam kepadanya.

"Hari itu ada suatu urusan yang harus diselesaikan. Lagian kami tidak berdua, ada guru-guru lain juga." Hanya itulah yang bisa Rana katakan. Semoga hari ini hari terakhirnya ia membohongi Dhiani.

"Benarkah?" tanya Dhiani memastikan.

"Apa kamu tidak percaya?" Rana balik bertanya.

Dhiani hanya mengangguk. Ia percaya apa yang di katakan Rana. Karena kunci dalam sebuah hubungan itu adalah saling percaya. Kalau kepercayaan telah hilang dari salah satunya, atau bahkan dari keduanya, mungkin hubungan itu perlahan akan retak, dan lama-lama akan hancur.

"Aku percaya."

***

A/n;

Assalamualaikum.

Rini come back again😍 masih ingat Rini? Adiknya Rana itu, lho?

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya!!

Sincere Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang