54. Shame

45K 3.3K 119
                                    

Dhiani mengembuskan napas kasarnya ketika soal yang sedang ia kerjakan tidak ada jawabannya. Besok adalah pelajaran matematika, dan sekarang dirinya sedang belajar di ruang tengah ditemani oleh Rana.

Dengan sabar, Rana terus mengajarkan Dhiani agar bisa mengerjakan soalnya dengan benar.

"Soal satu, jawaban singkat, tapi coretannya satu lebar buku," gerutu Dhiani berlebihan, membuat Rana tertawa renyah.

"Sabar! Coba perhatikan lagi hitungannya," kata Rana.

Dhiani menuruti apa kata Rana. Ia terus berusaha untuk bisa menjawab soal yang menurutnya sangat sulit untuk diisi.

"Nah, akhirnya ketemu juga jawabannya." Dhiani mengembuskan napas leganya.

Rana tersenyum melihat tingkah Dhiani yang selalu menggemaskan di matanya.

"Semoga kamu bisa mendapatkan nilai yang memuaskan," ucap Rana.

"Aamiin."

Dhiani menatap jam yang menempel di dinding. Dilihatnya jam yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Ia segera membereskan alat-alat tulisnya, kemudian disimpan di kamarnya.

"Bapak mau langsung tidur?" tanya Dhiani, ketika melihat Rana sudah naik ke ranjang.

"Sini, Dhi!" Bukannya menjawab, Rana malah menyuruh Dhiani untuk duduk di sampingnya.

Dhiani hanya menurut saja. Ia naik ke ranjang dan duduk di sebelah Rana.

"Ada apa, Pak?" tanya Dhiani.

Rana mengusap kepala Dhiani dengan sayang. Kemudian ia menggeserkan kepala Dhiani agar bersandar di bahunya. Entah kenapa, hari ini Rana merasa rindu sekali dengan Dhiani, padahal mereka setiap hari selalu bertemu.

"Aku kangen banget sama istri kecilku," ujar Rana, menggenggam tangan Dhiani.

Dhiani tertawa kecil. "Masa sih? Kayak yang baru ketemu aja. Padahal setiap hari kita ketemu terus loh, Pak."

"Hehe iya. Tapi, gak salah juga 'kan kalau kangen?"

"Enggak, kok. Malah aku seneng banget dikangenin sama suami aku." Duh, kenapa Dhiani jadi genit seperti ini sih?

"Jadi pengen cepet-cepet punya dedek bayi," celetuk Rana tiba-tiba, membuat pipi Dhiani memerah seperti tomat setengah matang.

Dhiani membenarkan posisinya. Dia sudah tidak bersandar lagi di bahu Rana. Dia sedang merasakan detak jantungnya yang berpacu di luar batas.

"Kenapa, Dhi?" tanya Rana.

Dhiani menggeleng. Ia benar-benar malu sekali. Kenapa Rana harus membicarakan hal seperti ini sih?

"Malu ya?"

Sudah tahu malah ditanya, kan Dhiani tambah malu.

"Gak usah malu-malu, Sayang." Rana membawa Dhiani ke dalam dekapannya. Dhiani yang malu, hanya bisa menenggelamkan kepalanya di dada bidang Rana. Duh, suaminya ini benar-benar hobi sekali membuatnya merona.

"Aku malu sekali, Pak," rengek Dhiani.

***

Hari demi hari berlalu dengan begitu cepat. Hari ini adalah hari terakhir Ujian Nasional. Dhiani mengembuskan napas leganya sambil berlari ke taman sekolah. Di sana sudah ada Aida yang sedang duduk di bangku sambil memainkan ponselnya.

"Akhirnya UN selesai juga." Dhiani memeluk Aida, membuat perempuan berhijab putih itu tersentak kaget karena pelukan Dhiani yang tiba-tiba.

"Alhamdulillah, ya, Dhi." Aida membalas pelukan Dhiani.

Sincere Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang