32. Kita

53.3K 3.5K 99
                                    

"Dhiani?"

Rana bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Dhiani. Ia benar-benar takut, takut kalau Dhiani mendengar semuanya. Mendengar kalau dirinya dan Sarah sering pergi bersama, serta Sarah dan orang tuanya datang kesini meminta persetujuan agar Rana dan Sarah menikah.

Dhiani hanya tersenyum ke arah Rana. Doni dan Fitri tidak tahu harus melakukan apa, mereka hanya diam memerhatikan Rana dan Dhiani.

Fitri tahu sekali, kalau Dhiani mendengar percakapan antara dirinya, suaminya dan juga putranya itu. Karena ia bisa melihat mata Dhiani yang menyiratkan rasa sedih.

"Kamu dari kapan di sini?" tanya Rana.

"Dari tadi," jawab Dhiani jujur.

Rana membulatkan matanya. Jantungnya berdetak tidak beraturan, tangannya bergetar, lidahnya sangat kelu untuk berbicara. Ia tidak tahu harus mengatakan apa kepada Dhiani. Yang jelas, ia sangat takut kalau Dhiani akan pergi meninggalkannya.

Suasana benar-benar terasa mencekam. Keempat orang yang sedang berada di ruang keluarga diam tak berani membuka suara sedikit pun.

Dhiani pun masih diam. Ia masih menunggu Rana mengucapkan sesuatu lagi.

"Aku benar-benar minta maaf, Dhi." Akhirnya ucapan maaflah yang bisa keluar dari mulut Rana. Rana tidak tahu harus mengatakan apalagi.

"Aku selalu memaafkanmu. Walaupun kamu selalu memberiku luka. Karena apa? Karena aku mencintaimu."

Setetes air mata keluar dari sudut mata Rana. Ia sangat beruntung memiliki istri seperti Dhiani. Dhiani selalu memaafkan kesalahannya. Walaupun ia terus-terusan menyakiti Dhiani.

"Kamu tahu, Pak? Kenapa aku selalu bersikap cuek padamu?" Ada sedikit jeda. "Karena aku tahu, kalau kamu sering pergi bersama bu Sarah."

Rana menatap Dhiani. "Jadi, alasanmu bersikap seperti itu karena kamu sudah tahu kalau aku sering pergi dengan Sarah?"

Dhiani mengangguk.

"Aku benar-benar minta maaf. Aku menyesal telah melakukan ini. Aku khilaf, Dhi."

"Aku memaafkanmu."

Fitri menatap Dhiani dengan tatapan tidak percaya. Dhiani benar-benar memiliki hati yang baik. Dia tidak marah, walaupun Rana telah menyakitinya. Ia sungguh beruntung karena Rana telah berjodoh dengan perempuan setulus Dhiani. Sedangkan Doni, masih diam tak berkutik, menyaksikan pemandangan di depannya.

"Kenapa kamu gak bilang, kalau kamu tahu itu dari dulu, Dhi?" tanya Rana dengan suara yang lirih.

"Karena diam lebih baik," jawab Dhiani.

"Apa kamu marah karena aku telah menyakitimu?"

Pertanyaan bodoh. Jelas dalam hati Dhiani sangat marah. Tapi, dia tidak bisa melakukan itu kepada Rana. Karena bagaimanapun juga Rana adalah suaminya. Suami yang harus ia hormati. Ridho Allah ada pada ridho suaminya juga.

"Apa kamu menyesal telah menikah denganku?"

Dhiani menatap Rana dengan tatapan serius. Ia tidak pernah menyesal menikah dengan Rana, karena bagaimanapun juga Rana telah mengajarkannya untuk lebih bersikap dewasa. Rana telah membawanya ke dalam hidup yang penuh rasa.

Dulu, Dhiani sangat tidak tahu bagaimana rasanya mencintai sosok manusia selain keluarganya. Dulu, Dhiani tidak tahu bagaimana rasanya sakit karena cinta pada sosok manusia. Tapi, setelah menikah dengan Rana, Dhiani sudah merasakan itu semua.

Kenapa ia sangat mudah sekali untuk memaafkan kesalahan Rana? Padahal Rana sudah sangat jahat padanya, berani-beraninya bermain api di belakangnya. Jawabannya adalah cinta. Ia dan Rana saling mencintai, dan kini ada orang ketiga yang datang ke dalam hubungan mereka. Yang harus mereka lakukan adalah sama-sama berjuang, berjuang untuk mempertahankan hubungan mereka.

Sincere Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang