18. Gelisah

47.8K 3.4K 215
                                    

"Melamun aja." Tepukan tangan Aida di pundak Dhiani membuat Dhiani tersentak kaget. Ia menatap ke arah Aida dengan tatapan kesal. Aida ini memang hobi sekali membuat orang kaget.

"Kenapa sih?" tanya Aida bingung.

Sedari tadi Dhiani terus saja melamun. Ia pun menjawab pertanyaan dari setiap orang hanya seadanya saja. Sungguh, itu membuat Aida merasa khawatir. Ada apa dengan sahabatnya itu?

Sedangkan Dhiani masih diam. Ia enggan menjawab pertanyaan dari Aida. Karena itu akan membuatnya teringat akan kejadian semalam. Kejadian dimana Rana senyum-senyum sendiri dengan ponselnya, kejadian dimana Rana tidak tidur bersamanya dan memilih tidur di sofa dengan ponsel di genggamannya.

Semalam, Dhiani berniat ingin mencari tahu apa penyebab suaminya itu berubah, dengan cara melihat isi ponsel suaminya. Tapi, niatnya itu gagal ketika ponsel Rana memakai password dan Dhiani tidak tahu apa passwordnya itu.

"Yakin gak mau cerita?" Aida masih saja ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Dhiani. Benar-benar sahabat yang pengertian.

"Aku cuma capek, Da." Akhirnya Dhiani menjawab.

"Mau ke UKS?"

Dhiani menggeleng. "Tidak usah."

"Yakin?" Aida memastikan.

Dhiani mengangguk. Aida ini memang terlalu berlebihan. "Iya, Aida."

Di tempat yang sama namun beda ruangan, Rana sedang duduk di kursinya yang berada di ruang guru, ia menatap ke arah Sarah yang sedang fokus ke beberapa buku dengan bolpoin di tangan kanannya. Terkadang Rana tertawa kecil ketika Sarah menggerutu karena salah dalam menulis.

Ini adalah jam istirahat, namun Rana memilih berdiam diri di ruang guru, dan tentu saja masih ada beberapa guru, tidak hanya dirinya dan Sarah. Rana masih tahu batasan.

"Pak, makan di kantin yuk." Tanpa Rana sadari Sarah sudah menyelesaikan tugasnya dan berdiri tepat di depan mejanya.

Rana menggaruk lehernya yang sama sekali tidak gatal. Ia harus bagaimana? Mengiyakan ajakan Sarah atau menolaknya? Bagaimana kalau Dhiani ada di kantin?

"Saya gak lapar," jawab Rana.

"Tapi aku lapar, Pak. Boleh minta di temenin 'kan? Lagian di kantin juga gak berduaan."

Akhirnya mau tak mau Rana mengiyakan ajakan Sarah. Semoga saja tidak ada Dhiani di kantin.

"Baiklah."

Sarah tersenyum senang ketika Rana mau menerima ajakannya. Jadi, Sarah benar-benar yakin kalau Rana masih mempunyai perasaan untuknya. Ini adalah kesempatan yang tidak boleh ia sia-siakan. Ia pasti bisa mengambil hati Rana lagi, dengan cara mencoba dekat kembali dengan Rana.

Tiba di kantin, mereka berdua langsung duduk di meja yang berada di tengah-tengah, untuk menghindari hal-hal yang buruk. Karena menurut Rana, acara makan siang ini hanya sebatas partner kerja saja. Tidak lebih.

"Di makan, Pak!" ucap Sarah, ketika ibu kantin sudah menyimpan pesanan mereka di meja.

Rana mengangguk. Tak butuh waktu lama ia langsung memakan mie ayamnya dengan lahap. Ia tidak ingin terlalu lama di kantin——takut ada Dhiani.

"Katanya gak lapar. Kok, lahap banget makannya." Sarah terkekeh melihat tingkah Rana yang sangat menggemaskan.

Rana tersenyum. "Siapa sih yang gak lahap kalau makan mie ayam di sini."

"Mie ayam di sini memang benar-benar enak," tanggap Sarah.

***

14:00

Sincere Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang