19. Jadi ...

46.3K 3.5K 246
                                    

Dhiani sudah sampai di apartemen pada jam enam lebih sepuluh menit. Ia pulang dengan menggunakan ojek online, karena ia tak mungkin bisa berjalan dengan jarak yang cukup jauh. Lututnya terus saja berdenyut sakit.

Apartemen masih sepi. Rana belum juga datang. Dhiani benar-benar dibuat bingung oleh Rana. Ia takut kalau terjadi sesuatu yang buruk dengan Rana.

Dhiani berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat Maghrib.

Setelah selesai sholat, Dhiani memilih untuk tiduran di kasur. Kakinya benar-benar sakit, belum lagi rasa pusing terus menyerangnya.

Andai saja ibunya ada di sini, mengobati rasa sakit yang Dhiani rasakan. Bukan hanya sakit di kepala dan lutut. Tapi, juga hatinya. Karena baginya, Ibu adalah dokter terhebat. Dokter yang mengobati rasa sakit dengan kasih sayang, tanpa meminta balasan apapun. Ibu selalu ikhlas melakukan apapun demi buah hatinya.

Dhiani tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Rana. Tapi, entah kenapa hatinya selalu berpikiran macam-macam kepada Rana.

Dhiani selalu meyakinkan hatinya, bahwa Rana akan baik-baik saja. Rana akan kembali menjadi suami yang selalu bersikap manis seperti biasanya. Tidak seperti kemarin.

Ia mencintai Rana dan ia harus percaya bahwa Rana tidak akan pernah mengkhianatinya.

Pintu kamarnya terbuka, Dhiani sudah tahu siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan Rana. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Dhiani menghampiri Rana dan mencium punggung tangan Rana.

"Bapak tidak apa-apa 'kan?" tanya Dhiani cemas.

Rana menatap Dhiani dengan tatapan dingin, dan itu membuat Dhiani takut. Takut kalau Rana akan berubah seperti dulu lagi. Menjadi guru yang cuek, dingin dan jarang bicara.

"Bapak sudah sholat?" Dhiani masih terus bertanya kepada Rana.

"Sudah," jawab Rana singkat.

"Bapak sudah makan?"

"Sudah," jawabnya masih singkat.

"Bapak lelah ya? Kalau gitu aku siapkan air hangat untuk mandi bapak." Dhiani hendak beranjak. Namun, Rana menahannya.

"Tidak usah."

Setelah mengatakan itu, Rana keluar dari kamar, mengabaikan Dhiani yang masih dibuat bingung olehnya.

Rana duduk di sofa sambil menonton. Ponselnya tak pernah lepas dari genggamannya. Kadang Rana suka tertawa sendiri ketika mendapat balasan pesan dari seseorang. Dhiani yang masih ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi menghampiri Rana, dan ikut duduk di sebelah Rana.

"Kenapa bapak tidak membalas pesanku dan mengangkat teleponku?"

Mata Rana melirik ke arah Dhiani sejenak. "Ponselnya di silent, jadi gak tau kalau kamu ngehubungi."

"Aku pulang jam enam, karena aku kira bapak menungguku. Tapi ternyata enggak."

"Lain kali jangan menungguku! Belum tentu aku selalu ada untukmu."

"Tapi...,"

"Bisa tinggalkan aku sendiri?"

Mau tak mau Dhiani harus menuruti kata-kata Rana. Ia kembali lagi masuk ke dalam kamar. Sebelum ia benar-benar menutup pintu kamarnya ia menatap sejenak ke arah Rana. Di sana Rana sedang senyum-senyum sendiri dengan ponselnya di genggamannya.

***

Keesokan harinya, Dhiani pergi ke sekolah naik taksi. Rana bilang, ia harus pagi sekali sampai di sekolah, dan Dhiani percaya saja apa yang Rana katakan.

Sincere Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang