"Apa lihat-lihat?" tanya Newt. Suaranya rendah dan terkontrol. Kendati begitu, kegugupan masih dapat didengar meski samar.
Sidney menarik kedua sudut bibirnya, membentuk senyum lebar sampai matanya pun ikut tertarik sehingga menyerupai bulan sabit. Bila satu jam yang lalu Sidney merasa terkejut karena pernyataan sadar tak sadar Newt yang katanya menyukainya, maka saat ini bukan waktunya lagi untuk terjebak pada sebuah kekagetan.
Walaupun sulit bagi Sidney untuk memahami tentang pernyataan Newt beberapa waktu yang lalu, gadis itu tak bisa menampik kebahagiaan yang menyusup dalam dirinya. Newt yang ia pikir membencinya, ternyata malah menyukainya. Lucu sekali.
"Jangan menatapku terus," tegur Newt, tanpa melihat Sidney sama sekali. Pria itu berusaha tenang. Entah kenapa jantungnya terus berdetak tak normal setiap kali berdekatan dengan gadis itu.
Sidney tak menggubris teguran Newt. Ia memilih untuk menghampiri pria itu, lalu ikut duduk di sampingnya.
"Jangan dekat-dekat denganku." Suara Newt meninggi, menutupi kegugupan yang kembali hadir. Kedua matanya mendelik kepada Sidney bersamaan dengan bokongnya yang begeser agak jauh dari gadis itu, seperti membuat jarak di antara mereka.
"Ya, sudah. Aku pergi kalau begitu," gertak Sidney.
Seperti dugaan awalnya, Newt segera menghentikan Sidney sedetik setelah gadis itu mengangkat tubuhnya dari sofa, dengan tangannya yang berada di siku Sidney.
Menurunkan tatapannya, Sidney melihat secara gamblang bahwa Newt kedapatan menahannya. Senyum pun kembali menghiasi bibirnya. Mau tak mau ia harus menyimpulkan kalau Newt memang menyukainya. Sedikit rasa bangga mengalir dalam tubuhnya.
"Kenapa kau jadi sensitif sekali?" tanya Newt setelah Sidney kembali duduk di sisinya. Pria itu pun sudah tak lagi menjaga jarak dengannya.
"Kau yang memancingku." Sidney tak mau kalah.
"Ya, baiklah. Itu memang salahku. Aku lupa kalau anak kecil yang baru beranjak dewasa sepertimu emosinya suka berubah-ubah."
Pupil Sidney membesar. Ia menarik bahu Newt, menggerakkannya agar pria itu menghadap ke arahnya. Air mukanya menunjukkan bayangan kekesalan di wajah mungilnya. "Kau bilang apa tadi? Siapa yang kau maksud anak kecil, hah?"
Newt mengangkat tangannya. Tanpa diduga-duga bergerak mengusap rambut Sidney. "Kenyataannya kau memang masih kecil."
Sidney mengerjapkan matanya sebanyak dua kali. Kepalanya agak terdorong ke belakang, bergerak refleks akibat sentuhan Newt. "Aku sudah besar," katanya, cemberut. Meski awalnya merasa gugup karena pergerakan tiba-tiba Newt, Sidney bisa kembali menguasai dirinya.
Newt mendengus, menjauhkan tangannya dari Sidney dan kembali duduk seperti semula. "Oh, ya? Aku tidak percaya. Bahkan, aku yakin kalau kau tidak pernah berciuman sama sekali."
"Memang tidak," tandas Sidney, tak merasa malu sama sekali. "Sudah atau belum pernahnya berciuman itu tidak bisa dijadikan sebagai patokan untuk menilai kedewasaan seseorang."
Sidney dan mulut lihainya. Lagi-lagi berhasil mengundang senyum Newt.
"Tapi tetap saja kau tidak pernah berciuman sama sekali, anak kecil." Newt menepuk-nepuk pelan kepala Sidney. Bokongnya terangkat dari kursi, beranjak meninggalkan gadis itu sebelum pikirannya semakin tak keruan.
Bibir Sidney mengerut, merasa jengkel dengan pernyataan sewenang-wenang Newt yang terkesan menyudutkannya. Menarik napas dalam-dalam, ia pun mengontrol emosinya dan membuang pikiran untuk berdebat dengan Newt dari kepalanya. Biarlah ia simpan saja kekesalan itu di dalam hati karena niatnya menahan Newt di sini bukan untuk beradu argumen dengan pria itu, tetapi meminta konfirmasi atas pernyataannya beberapa saat yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Billionaire's Bride
Romance[TAMAT - CERITA MASIH LENGKAP] Newt Hamilton, seseorang yang digadang-gadang akan mewarisi kekayaan ayahnya yang begitu berlimpah. Akan tetapi, sifatnya yang arogan membuat sang ayah belum mau memberikan semua kekayaan yang telah dirintisnya mulai d...