Bagian 4

137K 11.4K 518
                                    

Sejak masuk ke dalam penthouse Newt, Sidney tak berhenti berdecak kagum sambil terus memuji-muji bangunan megah ini di dalam hati. Sidney masih tak percaya bahwa ia akan tinggal di sini sampai kuliahnya selesai. Ambisi yang begitu kuat untuk menjadi orang kaya sepertinya mulai terwujud sedikit demi sedikit walau ia hanya menumpang di sini.

"Hey, Kuning! Kemarilah. Ini kamarmu."

Kesadaran Sidney kembali ke asalnya ketika suara Newt menyentak alam bawah sadarnya. Ia lalu menghampiri pria itu yang tengah berdiri di depan pintu berbahan kayu yang warnanya berbeda dari pintu lainnya.

Sidney melongokkan kepalanya ke dalam sambil terus mendekap tas ranselnya erat-erat. Kebingungan menyapu wajahnya kala melihat kondisi ruangan yang katanya akan menjadi kamarnya ini. Pasalnya, ia tak melihat ruangan ini seperti sebuah kamar walau ada tempat tidur serta lemari di dalamnya.

"Mulai sekarang, kamar ini akan menjadi kamar tidurmu." Newt memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia kemudian menggerakkan kepalanya, menyuruh Sidney untuk masuk.

Dengan langkah ragu-ragu Sidney menuruti titah Newt. Ia berdiri di tengah-tengah ruangan dan mulai memutar pandangannya ke seluruh arah dan berhenti pada wajah Newt.

"Ini kamarku?" tanya Sidney, memastikan. Pasalnya, kamar ini lebih terlihat seperti gudang. Bahkan, kamar tidurnya di rumah lamanya masih jauh lebih bagus walau ukurannya lebih kecil.

Newt mengangkat kedua bahunya tak acuh kemudian merentangkan kedua tangannya. "Ya. Ini kamarmu."

Pundak Sidney meluruh bersamaan dengan ranselnya yang terjatuh di atas lantai. Ia ingin menangis saat ini. Benaknya mulai mempertanyakan ramalan Martha yang menyebutkan bahwa nasibnya akan berubah setelah keluar dari desa dan hidup bersama Nate dan Olivia Hamilton di kota besar ini. Namun, miris sekali karena nasibnya masih sama saja walau ia telah menuruti apa yang Martha katakan.

"Baiklah, aku harap kau senang tinggal di sini," ucap Newt dengan seringaiannya. Melihat wajah lesu Sidney membuat ia yakin bahwa ia telah berhasil membuat gadis itu tidak betah tinggal di sini bahkan di hari pertamanya sekalipun.

Newt lantas berlekas-lekas keluar, menunggu telepon dari ibunya yang mengatakan bahwa gadis aneh itu tak jadi tinggal bersamanya. Sungguh, ia tidak suka berbagi tempat tinggal dengan siapa pun termasuk Louisa yang notabene-nya adalah kekasihnya sendiri. Apalagi jika ia harus tinggal bersama seorang perempuan yang bahkan tidak dikenalnya sama sekali. Itu sebabnya di sepanjang perjalanan tadi, kepalanya sibuk memikirkan bagaimana caranya membuat Sidney tidak kerasan tinggal di sini.

Satu tangan yang menarik lengannya dengan sedikit memaksa membuat Newt mau tak mau menghentikan langkahnya yang baru sampai di ambang pintu. Wajahnya kelihatan kaget saat mendapati Sidney lah yang saat ini tengah menarik lengannya.

"Paman, tolong berikan aku kamar yang layak. Aku mohon," pinta Sidney yang sudah membuang rasa malunya agar bisa mencicipi sedikit saja kekayaan milik anak pertama dari keluarga Hamilton ini. Dan Sidney yakin bahwa tempat semegah ini tidak mungkin hanya memiliki satu atau dua kamar saja.

Mata Newt membeliak, ekspresinya tampak terperangah. "Paman? Kau memanggilku Paman? Sialan! Aku bukan Pamanmu, Bocah aneh," dampratnya yang tak terima dipanggil seperti itu karena ia jadi terlihat sangat tua.

Dengan wajah polosnya Sidney menyahuti ketidaksukaan Newt. "Kenapa memangnya? Di mataku, kau memang terlihat seperti paman-paman."

"Yang benar saja! Kau memanggil Papaku dengan sebutan Paman dan kau juga memanggilku Paman. Kau pasti sudah tidak waras."

"Jadi, kau ingin aku memanggilmu apa? Sayang?" Wajah Sidney sudah ditekuk masam saat menyahuti perkataan Newt barusan. Namun, rautnya berubah ceria ketika sadar kalau rekomendasi panggilan yang ia sebutkan barusan cukup menarik. "Ah! Sepertinya lidahku terasa nyaman saat memanggilmu dengan sebutan sayang."

Kedua mata Newt kian melebar saat melihat Sidney begitu kegirangan. Untuk pertama kalinya ia merasa bahwa ibunya begitu jahat dengannya sebab memintanya untuk membawa pulang Sidney yang seharusnya berada di rumah sakit jiwa.

"Newt sayang," Sidney mencoba panggilan tersebut dengan wajah yang dibuat seserius mungkin. Lalu, ia mencecap lidahnya berulang kali sebelum pandangannya kembali ke Newt dan binar kebahagiaan kembali menghiasi wajahnya. "Astaga! Mulai detik ini aku akan memanggilmu sayang. Itu sangat cocok di lidahku."

Kesabaran Newt sudah habis. Rautnya menunjukkan kemarahan, terlihat jelas dari rahangnya yang mengeras dan wajahnya yang memerah padam. Dengan gerakan kasar ia menyentak tangan Sidney yang belum lepas dari lengannya. Ia lantas menarik paksa gadis itu dan menghempaskannya ke luar penthouse-nya dengan bengis.

"Pergi dari sini! Aku muak melihat kekonyolanmu itu!" hardik Newt sebelum menutup pintu dengan keras sehingga menimbulkan debuman yang membuat jantung Sidney hampir copot.

Newt sudah tak peduli lagi dengan janji seumur hidupnya yang tak akan pernah menolak permintaan sang ibu. Namun, untuk kali ini, ia membuat pengecualian karena permohonan ibunya membawa bencana baginya. Sidney adalah gadis tidak waras yang harus dihindarinya jika ia tidak ingin tertular kegilaannya itu.

Sementara di luar penthouse, Sidney mengedipkan matanya berulang kali sambil berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Raut gembira yang sejak tadi menempel di wajahnya, kini sirna, bergantikan dengan rasa cemas yang membuatnya merasa waswas.

Tak ingin kalah dari keadaan, Sidney mengambil langkah lain agar Newt tidak benar-benar mengusirnya dari sini. Kedua tangannya ia tempelkan di daun pintu sebelum memukulnya berulang kali.

"Tuan, aku mohon jangan usir aku! Biarkan aku tinggal di sini!" Teriakan pertama tak digubris oleh Newt.

Sidney tak menyerah. Kali ini ia berganti memencet bel tanpa henti. "Paman, tolong buka pintunya!"

Newt masih mengabaikannya, membuat Sidney hampir menangis. Bukan apa-apa, uangnya sudah habis saat dalam perjalanan menuju Manhattan. Tidak mungkin ia kembali ke rumah Nate dan Olivia Hamilton dengan berjalan kaki. Yang benar saja.

Satu kali lagi, pikir Sidney. Mungkin kali ini Newt merasa terganggu dan pada akhirnya mengalah.

"Tuan! Paman! Sayang! Biarkan aku masuk. Mari kita bicarakan ini baik-baik!" Sidney mengerahkan seluruh kekuatannya hanya untuk berteriak dan menggedor lebih kuat pintu penthouse Newt yang begitu keras. Bahkan, tangannya sampai memerah dan terasa nyeri. Sial sekali.

Air mata perlahan-lahan tumpah seiring dengan berakhirnya aksi Sidney yang berusaha membuat Newt menarik kembali keputusannya untuk mengusirnya dari sini. Dengan lemah ia duduk di depan penthouse Newt dengan beralaskan lantai yang dingin dan bersandar pada daun pintu yang keras.

"Mommy! Aku akan menjadi gelandangan lagi. Tidak di Ohio, tidak di Manhattan, nasibku selalu saja menyedihkan." Sambil menahan isak tangisnya, Sidney meracau tidak jelas, mengeluhkan garis kehidupannya yang tak pernah berubah.

Beberapa menit lamanya Sidney terus menangis tersedu-sedu di depan penthouse Newt. Masih ada secercah harapan dalam dirinya yang mengatakan bahwa pria galak itu pasti akan mengizinkannya untuk tinggal di sini. Terserah apa alasannya. Apa itu karena Newt tidak tega dengannya atau bahkan karena paksaan dari ibunya. Yang jelas, hari ini Sidney tidak ingin jadi gelandangan.

Dan harapan itu seolah-olah terkabul saat pintu terbuka. Dengan sigap Sidney menghapus air matanya dan segera bangkit berdiri. Senyumnya merekah lebar saat melihat Newt berdiri dengan wajah yang masih sama seperti yang terkahir kali ia lihat.

"Terima kasih, Tuan. Aku berjanji tidak akan bertingkah konyol lagi," ucap Sidney dengan wajah dan suara yang dibuat semanis mungkin.

Namun, sepertinya Sidney salah sangka sebab setelahnya Newt melempar ransel miliknya dan menatapnya tajam. "Pergi dari sini!" usirnya dengan kejam dan kembali menutup pintu dengan kasar.

Sidney menatap bergantian ke arah ransel dan pintu yang baru saja ditutup oleh Newt. Tangis yang tadi sempat berhenti, kini berlanjut lagi. Bahkan, Sidney menendang pintu penthouse Newt beberapa kali karena merasa kesal dan menyerah saat kakinya mulai terasa sakit.

"Mommy, aku ingin mati saja!"

••••

17 Juni, 2017

The Billionaire's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang