Bagian 38

94.8K 7.7K 192
                                    

Sidney merasakan pandangan Newt kepadanya begitu tajam. Mata biru itu seakan menusuk sampai ke bagian terdalam dirinya. Namun, ia mencoba tak acuh dengan tetap mengeringkan rambutnya yang basah sehabis keramas.

Newt memang membuntutinya sejak tadi hingga pria itu kini bisa berada di apartemennya. Awalnya ia berniat untuk mengunci Newt dari luar sebab kekesalannya terhadap tingkah kedua kakak beradik itu belum hilang, tetapi Newt dengan seribu satu akalnya pada akhirnya tetap bisa masuk ke dalam.

"Kuning lagi, Sid." Newt akhirnya memecah keheningan setelah diam selama beberapa menit, terdengar mengomentari baju yang dikenakan Sidney malam ini.

Mendengar itu, mau tak mau Sidney mengalihkan pandangannya ke arah Newt. Matanya menyipit tanda tak suka. "Ini apartemenku. Aku bebas memakai baju berwarna apa pun."

Newt terkekeh. Ia menyilangkan satu kakinya dan menumpukannya pada kaki yang lainnya. "Apartemenmu? Apa kau yakin, Sid?"

Kedua belah bibir Sidney terpisah, mulutnya terbuka hendak membalas perkataan Newt, tetapi saat kalimat sanggahannya sudah berada di ujung lidah, ia pun mengurungkan niatnya dan mengatupkan kembali bibirnya bersamaan dengan dengusan panjang yang meluncur dari mulutnya.

Newt memang sialan. Pria itu sangat tahu bagaimana menutup mulutnya. Terang saja Sidney tak bisa membalas, apartemen ini ia beli menggunakan uang hasil penjualan cincin milik pria itu yang diberikan untuknya. Otomatis apartemen ini secara tidak langsung merupakan milik Newt.

Tawa Newt kembali pecah saat sadar bahwa Sidney paham apa maksud dari pertanyaannya itu. Ia lantas bangkit, menghampiri Sidney yang sepertinya sengaja duduk agak jauh darinya.

"Ayolah, Sayangku. Aku benar-benar merindukanmu." Newt menarik Sidney ke dalam dekapannya. "Kenapa kau terus menghindar, hm?"

Sebelum Sidney sempat menjawab, Newt sudah lebih dulu mengangkat tubuh gadis itu dan memindahkannya ke atas pangkuannya dalam posisi sedikit menyamping sehingga single sofa yang mereka duduki muat untuk menampung keduanya.

Untuk kali ini Sidney tak lagi berusaha menghindar. Kendati masih kesal, ia juga tak dapat berbohong kalau jauh di dalam lubuk hatinya, ia berteriak keras mengatakan bahwa dirinya sangatlah merindukan Newt.

"Jadi, semua itu benar-benar hanya sandiwara, kan?" Sidney melempar handuknya ke sembarang arah lalu melingkarkan kedua lengannya di seputaran leher Newt.

Newt memberi kecupan singkat di leher Sidney. "Bahkan, Neil sendiri yang menjelaskannya. Kau masih tidak percaya, Sid?"

"Bisa saja kalian bersekongkol dan sengaja membuat lelucon untuk mempermainkanku."

Newt terkekeh pelan seraya menarik tubuh Sidney agar semakin dekat dengannya. "Memangnya apa alasan kami mempermainkanmu, Sid? Kami tidak sejahat itu kalau kau sangat ingin tahu."

Sidney memutar kedua bola matanya ke atas untuk berpikir sejenak sebelum kembali pada detail wajah Newt yang sejak tadi menjadi fokusnya. "Karena aku berasal dari kota kecil dan masih polos. Jadi, kalian mempermainkanku dengan sengaja."

Decakan Newt terdengar beberapa kali seiring dengan kepalanya yang membuat gerakan menggeleng yang disinkronkan dengan irama dari decakannya sendiri.

"Kau berimajinasi terlalu jauh, Sid."

Bibir Sidney mengerut cemberut. "Aku berani mengatakan itu karena aku sudah melihat dari berbagai sudut pandang, seperti dirimu yang pada awalnya sering menjahatiku."

"Aku bersikap seperti itu karena dulu kau sangat menyebalkan," bela Newt.

"Jadi, sekarang aku sudah tidak lagi menyebalkan?" Sidney memainkan alisnya. Tiba-tiba saja mood-nya naik.

The Billionaire's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang