Bagian 22

105K 8.6K 184
                                    

Newt duduk di kursi yang ada di ruang kerjanya. Tumpukan berkas-berkas serta macbook yang dibiarkan terbuka menjadi satu di atas meja. Meski mejanya tampak berantakan, Newt sama sekali tak menyentuhnya. Berusaha untuk merapikannya pun tidak.

Pikirannya sedang tak berpijak pada tempat yang seharusnya. Semuanya bergerak mundur ke beberapa waktu yang lalu, tepatnya saat Louisa dengan lidahnya yang ringan mengajaknya untuk menikah.

Dalam menit pertama sampai ketiga, yang Newt lakukan hanyalah diam. Lalu, tepat pada menit keempat, ia mulai angkat suara. Menyetujui apa yang Louisa pinta—menikah dengan wanita itu.

Namun, Newt bukan lagi pria yang hanya berpikir pada satu jalan saat berhadapan dengan Louisa. Ia tidak lagi berpatok pada rasa bersalahnya terhadap Elin. Secara perlahan logika berpikirnya pun mulai unjuk diri.

Lantas, yang mendasari Newt menerima ajakan menikah Louisa semata-mata hanya untuk terus terlibat dalam permainan wanita itu. Newt belum tahu seperti apa ujung dari kehadiran Louisa di dalam hidupnya.

Ia jelas masih penasaran. Semakin ke sini, entah kenapa ia tambah yakin kalau kehadiran Louisa bukan untuk menjalankan permintaan terakhir Elin, tetapi lebih dari itu. Sebab, Newt merasa bahwa kehadiran wanita itu terkesan seperti menyetir hidupnya.

Dan soal Newt yang mengikat Sidney, itu pun bukan hanya sekadar kalimat yang terucap di ujung lidah, tetapi pria itu memang sungguh-sungguh dengan niatnya.

Walau nyatanya dirinya melakukan itu atas dasar perjanjiannya dengan Louisa. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, itu semua ia lakukan untuk melindungi Sidney dan menyatakan secara gamblang bahwa Sidney adalah miliknya.

Berbicara tentang Sidney, Newt benar-benar tak mengerti bagaimana dirinya bisa sampai jatuh ke dalam pelukan gadis itu. Sulit rasanya menjelaskan hal itu dengan akal sehat.

Newt mengambil sebotol alkohol yang terletak di atas meja kerjanya. Masih sisa sedikit lagi sebelum ia meminum isinya dalam sekali teguk. Ia tak akan membiarkan pikiranya dipenuhi oleh Sidney terus-terusan. Gadis itu jika sudah mampir di dalam benaknya selalu membuatnya frustasi.

Sementara di tempat lainnya, masih berada di penthouse Newt, Sidney juga tampak frustasi, tetapi bukan karena Newt, melainkan anak dari pria itu. Siapa lagi memangnya kalau bukan Cliff, yang sejak kehadirannya telah berhasil merenggut semua ketenteraman Sidney.

"Bukan begitu cara memotong apel dengan baik. Sangat tidak efektif," protes Cliff yang duduk di seberang Sidney, memerhatikan gadis itu dengan kening yang berkerut-kerut.

"Mau dipotong seperti apa pun, apel ini nantinya akan tetap masuk ke dalam juicer, Cliff. Jadi, tidak akan berpengaruh apa-apa," kilah Sidney, riak di wajahnya mulai menunjukkan kebosanan karena bocah itu terus mengomentari apa yang ia lakukan.

"Tapi cara memotong yang seperti itu akan membuang waktumu dengan sia-sia."

"Diamlah, Cliff," peringat Sidney, tanpa memandang Cliff sama sekali dan tetap melakukan kegiatannya memotong apel.

"Kau benar-benar tidak cocok untuk dijadikan sebagai Ibuku."

Sungguh, Sidney sengaja mengabaikan Cliff agar emosinya tak terpancing, tetapi kalimat bocah itu barusan berhasil menaikkan emosinya dan ia seakan ingin meledak pada detik berikutnya.

Dengan mata yang menyorot tajam Cliff, Sidney meninggalkan sejenak kegiatan potong-memotong apelnya, meletakkan pisau yang sedari tadi berada dalam genggamannya dengan sedikit bantingan. Niatnya untuk menggertak Cliff, tetapi bocah itu kelihatan biasa-biasa saja. Sial. Sidney lupa kalau Cliff bukan anak biasa.

"Kau dengar baik-baik perkataanku ini, Cliff. Aku tidak akan menjadi Ibumu. Jadi, tutup mulutmu dan biarkan aku mengerjakan tugasku dengan tenteram," ujar Sidney dengan penekanan di setiap katanya.

The Billionaire's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang