Sidney duduk di ujung sofa, sengaja mengambil tempat tersebut supaya Newt dapat leluasa duduk di sisinya. Akan tetapi, Newt malah mengambil duduk di single sofa, yang letaknya berdekatan dengan bagian yang gadis itu duduki. Sebab, dari tempatnya duduk, Newt bisa melihat Sidney, mengamati dengan jelas bagaimana rupa gadis itu serta menebak apa isi pikirannya kala mendengar seluruh ceritanya nanti.
"Jadi, apa yang terjadi padamu dan Elin?" Sidney membiarkan matanya mengembara pada setiap detail wajah Newt.
Bukannya menjawab, Newt malah berdeham beberapa kali, sembari tangannya mencubit pelan bagian luar dari tenggorokannya sebagai kode bahwa ia butuh minum.
Sidney dengan cerdas menangkap maksud dari gerak-gerik Newt. Yang tadinya sudah mulai memasang raut serius, kini lenyap tergantikan oleh ekspresi cemberut.
"Iya-iya, aku ambilkan minum," kata Sidney. Menahan umpatan untuk tak keluar dari mulutnya dan beranjak ke dapur untuk mengambilkan si Tuan Angkuh itu minuman.
"Aku butuh bir, Sid."
Mata Sidney mengintip melewati bahunya. Bertatapan dengan Newt lalu memberikan pria itu hunusan tajam dari maniknya. Dan Newt tertawa pelan pada respons yang gadis itu berikan.
Setibanya di dapur, Sidney merasakan kepalanya berdenyut saat mendapati bagian meja yang berantakan karena tadinya ia ingin membuat jus apel atas permintaan Cliff dan melupakannya begitu saja akibat kehadiran Newt dan cerita masa lalunya.
Kehidupan yang keras melatih Sidney menjadi sosok yang anti pada hal-hal berantakan seperti ini. Terlebih lagi, ia bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran yang otomatis tugasnya tak jauh-jauh dari membersihkan dan merapikan setiap bagian restoran selain melayani pelanggan.
Lantas kini, Sidney bingung harus mengutamakan membersihkan dapur atau segera mengambil bir kemudian kembali menghampiri Newt lantas duduk manis untuk mendengarkan cerita pria itu.
Pemikiran akan sikap Newt yang tak suka menunggu terlalu lama berakhir pada putusan Sidney yang memilih untuk segera mengambil bir sebelum Newt menunjukkan taringnya sebab ia terlalu lama mengulur waktu.
Lupakan sejenak tentang betapa berantakannya dapur. Newt menjadi prioritas utama Sidney saat ini. Bukan karena rasa simpatinya terhadap pria itu, tetapi karena telinganya sedang malas mendengar semprotan Newt setelah sebelumnya pria itu menyatakan cinta kepadanya. Sidney tidak ingin merusak itu.
Kedua kaki Sidney berputar, beralih dari meja tersebut lantas berjalan menuju kulkas besar yang terletak di sudut ruangan. Satu tangannya terjulur ke depan, berpegang pada pintu kulas dan menariknya dalam sekali gerakan.
Keningnya membentuk kerutan kala tak menemukan satu botol pun bir di dalam sana. Seingat Sidney, kulkas besar ini tidak pernah kosong dari yang namanya minuman beralkohol dengan berbagai merek terkenal.
Tak ingin menyerah, Sidney menutup kulkas dan berpaling pada lemari-lemari yang ada di dapur ini. Mungkin saja Newt sudah memindahkan stok alkoholnya ke tempat yang berbeda. Namun, sialnya Sidney masih tidak dapat menemukan minuman tersebut di mana pun. Tidak mungkin tempat ini mendadak mengalami krisis bir.
"Aku menyuruhmu mengambil bir, Sidney. Bukan mengamati dapurku."
Satu suara yang masuk ke gendang telinga Sidney membuat gadis itu segera membalik tubuhnya ke asal suara. Dan ia mendapati Newt di sana. Berdiri menelitinya dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana.
"Aku tidak menemukan bir di mana pun." Sidney berjalan menghampiri Newt dengan wajah bingungnya.
"Oh, ya?" Newt mengamati sejenak ekspresi Sidney sebelum kakinya melangkah menuju kulkas untuk melihat isinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Billionaire's Bride
Romance[TAMAT - CERITA MASIH LENGKAP] Newt Hamilton, seseorang yang digadang-gadang akan mewarisi kekayaan ayahnya yang begitu berlimpah. Akan tetapi, sifatnya yang arogan membuat sang ayah belum mau memberikan semua kekayaan yang telah dirintisnya mulai d...