PAIN : sensation of physical discomfort (often due to illness or injury); emotional suffering or distress; someone or something that irritating or problematic.
[S][I][M][P][L][E]
Lidah pria itu mendecak kesal. Matanya tidak berhenti berotasi berkeliling di sepanjang jalan yang dia lalui. Jari-jarinya mencengkeram setir, sesekali menggigiti siku jarinya. Khawatir. Meski dia sendiri tidak terlalu yakin dengan perasaan itu. Dia hanya tahu jika dia pasti akan segera menemukan apa yang sedang dicarinya.
Kakinya menjejak tanah basah, setengah berlari dengan kedua tangan yang mencoba menutupi kepalanya agar tidak kebasahan. Sambil menepuk beberapa bagian tubuhnya dari air, kakinya terus berjalan memasuki gedung yang remang. Sudah malam, nyaris pukul sebelas, hanya orang sinting yang mau berkunjung ke rumah makam seperti ini. Ah, bukankah dia juga sedang mengunjunginya sekarang? Berarti dia termasuk jajaran orang sinting itu 'kan? Kepalanya menggeleng pelan menepis pikiran konyol barusan. Dia kemari untuk mencari sesuatu atau lebih tepatnya seseorang; tunangannya.
"Sialan, kemana dia-" ucapannya berhenti ketika matanya menangkap sebuah gelang perak sederhana dengan hiasan jangkar. Dia kenal betul gelang itu, gelang yang tidak pernah lepas dari pergelangan si pemilik. "Bodoh!"
Tepat setelah itu dia kembali keluar dari sana. Menginjak pedal dalam sambil menajamkan penglihatan. Dia berharap gadis itu tidak bertindak macam-macam atau setidaknya tetap baik-baik saja.
Hela napas itu terdengar di tengah guyuran hujan yang masih deras. Membanjiri beberapa tempat. Membuat jalanan yang sudah lengang semakin lengang. Dia menepi, lalu tangannya meraih kenop dan membukanya. Tanpa peduli air yang menyerangnya bertubi-tubi, menghancurkan tatanan rambutnya, atau merusak style yang selalu membuatnya tampak luar biasa. Tungkainya berhenti tepat di depan seorang gadis yang duduk memeluk lututnya dengan kepala tertunduk dalam. Walau suara hujan begitu memekakan telinga, tapi dia masih bisa dengan jelas mendengar isak tangis itu.
Dengan perlahan, kakinya ikut menekuk, merengkuh tubuh itu dalam pelukannya. Dia bisa merasakan kejut sebagai respon atas tindakannya, tapi tidak ada pergerakan yang berarti. Dia tahu gadis ini mengenalnya.
"Ayo pulang," ajaknya datar.
Gadis itu tidak menjawab, hanya menggeleng kuat sebagai bentuk penolakan mutlak.
"Kau boleh memonopoli apartemenku semaumu." Hyukjae memegang lembut kepala gadis itu, menariknya agar mendongak. Masih belum ada reaksi. Hanya ada mata besah dan isakan yang lolos dari bibir mungil yang bergetar pedih. "Aku akan merelakan kamarku untukmu."
Dan tawaran itu diterima. Dengan perlahan Hyukjae kembali merengkuh tubuh menggigil gadis tersebut. Bukan lagi dalam pelukan, namun sebuah gendongan. Ya, begitulah Hyukjae bersikap ketika Nara jatuh dalam kekalutan dan terluka parah. Memanjakannya. Menuruti semua maunya. Memberi perhatian penuh tanpa protes.
Lalu gadis itu, Park Nara, dengan sigap melingkarkan kedua kakinya di pinggang Hyukjae. Memeluk erat tubuh pria tersebut, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher milik tunangannya. Melupakan rasa malu serta gengsinya ketika bagian depan tubuh mereka saling berhimpit ketat. Dan dalam gendongan penuh keintiman itu, dia kembali menemukan kenyamanannya –yang entah sudah keberapa kali coba dia tepis.
[S][I][M][P][L][E]
Lalu sebuah pagi datang. Disapa fajar yang mengintip malu-malu di ufuk timur dari balik awan gelap ketika kelopak itu terbuka perlahan untuk kembali menghadapi kenyataan. Setelah malam dingin yang dia lupakan begitu saja dalam dekap hangat dan usapan lembut di punggung serta bonus kecupan kupu-kupu di pucuk kepala atau pelipisnya, ingatkan dia untuk setidaknya mengucapkan terimakasih pada tunangan playboy-nya yang brengsek itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
C A T C H Y
Historia Cortasekumpulan tulisan tentang mereka yang berbaur dalam rasa... O N E S H O O T D R A B L E