[S][I][M][P][L][E] ~ E

449 71 20
                                        

Believe: have faith in, think to be true

[S][I][M][P][L][E]

"Noona," Jimin memanggil dengan lembut, sepelan mungkin untuk menjaga emosi gadis yang begitu dia sayangi. "A-"

"Jiminnie," Nara segera memotong. Masih dengan kepalanya yang tertunduk dalam, mencoba menyembunyikan emosi yang terpancar dengan jelas di lensanya. Ketika kepalanya kembali mendongak, senyum palsu itu merekah. "Aku lelah. Aku ingin istirahat."

Jimin, pemuda bersurai merah jambu itu tertegun menatap wajah gadis di hadapannya. Tatapan penuh luka juga lensa berkaca yang siap pecah. Ini adalah raut yang dia lihat tiga tahun lalu, ketika untuk kali pertama mereka kehilangan sosok ibu yang begitu mereka cintai. Dia terluka, entah seberapa parah.

"Maafkan aku." Jimin berucap lirih sambil menyentuh pipi kakaknya dengan air mata yang siap jatuh.

Nara menggeleng tanpa melunturkan senyumnya. Dia hanya tidak mau membuat adik tersayangnya bersedih karenanya. Dia tidak mau membebani orang lain dengan perasaannya. Biar saja dia yang merasakan kehancuran itu. Cukup dia.

Mereka masih berdiri di depan pintu apartemen Nara yang tertutup rapat. Kedua tangan Nara terulur menangkup wajah Jimin kemudian menariknya mendekat untuk memberi satu kecupan hangat di kening. Dan saat itu juga air mata adiknya turun tanpa isakan.

"Jangan pernah meminta maaf. Kau tidak salah apa pun." Nara berucap, mengelus kepala adiknya sayang. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk memberikan segalanya demi sang adik setelah ibunya meninggal.

"Aku tidak pernah membencimu. Maafkan ucapanku waktu itu. Aku hanya-"

"Aku tahu." gadis itu lagi-lagi tersenyum, kali ini tidak lagi menyembunyikan air matanya. Membiarkannya ikut jatuh. "Beri aku waktu. Aku hanya ingin sendiri saat ini. Aku janji akan menemuimu segera."

Jimin tahu tidak hanya masalah keluarga yang sedang kakaknya hadapi, tapi juga tentang masalah lainnya. Perihal yang menyangkut masa depan Nara. "Hubungi aku jika butuh apa pun. Aku akan datang."

Nara mengangguk. Berbalik untuk menekan passcode kemudian meninggalkan Jimin didepan pintu tanpa mempersilahkannya masuk. Dia hanya ingin sendiri. Merenungi semuanya. Menentukan jalan hidupnya setelah ini. Masihkah dia kuat setelah tahun-tahun yang dia lewati? Dia berharap Tuhan memberikan yang terbaik, meski pada akhirnya dia akan hancur. Lebih hancur dari sebelumnya, dia akan mencoba menerima. Karena sejak awal, dia pun sudah tahu risiko apa yang akan dia dapat saat memutuskan untuk percaya pada hatinya tentang sebuah kata cinta.

[S][I][M][P][L][E]

Terhitung tiga hari sejak tragedi klinik berlalu, sejak saat itu pula Taehyung tidak bertemu dengan Park bersaudara. Seolah menghilang, tapi dia tidak menyalahkan karena jelas mereka butuh ketenangan. Terutama Nona Park. Namun, satu jam lalu Tuan Muda Park –karibnya- menghubunginya meminta untuk bertemu. Kebetulan dia berada di bar milik Namjoon. Jadi disinilah mereka, ruang VVIP yang sengaja di pesan Taehyung untuk menemui Park Jimin.

"Kalau kau masih mau diam, aku lebih baik pergi." Taehyung angkat bicara setelah sepuluh menit berlalu dengan suasana canggung mencekam karena karibnya bungkam.

Jimin menghela napas, melemparkan punggungnya sampai bersandar di sofa. Keadaannya kacau, untung saja tidak sampai mabuk. "Aku tahu kau mendengar semua yang aku ucapkan saat di kampus tempo hari. Bukankah aku adik yang jahat?" dia bertanya tanpa menatap Taehyung.

Si kepala madu –yah, setelah sebelumnya berkepala merah- mengangguk santai. "Kau memang jahat. Tidak seharusnya kau menyembunyikan semua ini darinya. Dia berhak tahu meski sepahit apa pun itu. Tapi," Taehyung menoleh, menatap Jimin penuh selidik. "Hyukkie Hyung benar-benar tahu?"

C A T C H YTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang