(15) Berpisah

583 41 8
                                    







Kalau kau menanyainya, Lily bisa menjawab dengan tepat kapan persisnya waktu berubah dari pukul lima lebih lima puluh sembilan menjadi pukul enam pagi. Dia terjaga semalaman, menatap jam, sama sekali tidak bisa tidur. Dia berbaring dengan masih mengenakan pakaian yang dipakainya ketika perang bola salju. Masih ada satu hari lagi sebelum sekolah dimulai, sehari penuh untuk tidak bersama James. Dia tersentak dari lamunannya dan kembali memandang jam dinding, ternyata masih pukul enam lebih satu menit. Menarik napas dalam-dalam, dia memaksa dirinya turun dari tempat tidur, wajahnya masih basah oleh air mata yang terus mengalir sepanjang malam. Beberapa butir air mata jatuh perlahan dari matanya, yang segera dihapusnya. Dia turun ke kamar mandi, memandang berkeliling untuk memastikan James tidak di sana, dan masuk ke bilik pancuran, dan mengalirkan air ke seluruh tubuhnya, tanpa bisa membedakan air pancuran yang mengaliri wajahnya, mana yang air mata.

James mendengar suara pancuran, dan mengubur wajah dalam bantalnya. Dia belum tidur. Dia duduk di tempat tidurnya, menatap satu titik di dinding, mengawasinya masuk dan keluar dari fokus matanya ketika dia menangis. Dia akhirnya mendapatkan gadis yang diimpikannya, dan sekarang dia kehilangan gadis itu. Rasanya sudah lama sekali sejak mereka memainkan permainan zakar dan perang bola salju. Dia menutup mata, mengingat tawa Lily, senyumnya, ciumannya. James mengusap matanya, bertanya-tanya dalam hati apa yang akan dilakukannya sepanjang hari ini. Setidaknya kalau sekolah sudah dimulai, dia bisa menyembunyikan diri di balik buku-buku pelajarannya. Suara pancuran berhenti dan James menuruni tangga untuk mengambil tasnya, ingin mencuri sekilas pandang pada Lily.

Lily membuka pintu, berpakaian jins warna gelap, atasan hitam, dan jaket biru muda, dengan rambut tersanggul berantakan di atas kepalanya. Matanya merah dan bengkak usai menangis, namun dia meragukan penampilannya itu akan hilang untuk waktu yang lama. Dia menghela napas ketika dilihatnya James di depan meja belajarnya.

James sendiri membeku ketika pintu terbuka, kepalanya mendongak menatap Lily. Kenapa dia harus tampak cantik sekali? tanyanya pada diri sendiri, menatapnya penuh kerinduan dari jinsnya, rambutnya, wajahnya. Mata Lily, James memperhatikan, merah dan bengkak, seolah-olah dia juga menangis sepanjang malam. Lily juga tengah memandang James, melihat matanya juga merah dan sedikit terisak. James masih mengenakan pakaian yang sama yang dipakainya semalam ketika dia kembali ke asrama. Hening sejenak selagi keduanya berdiri di sana, saling pandang, kemudian Lily menggelengkan kepalanya.

"Pagi, Potter," sapanya pelan.

Hati James serasa teriris ketika dilihatnya Lily tidak mengenakan kalung yang dihadiahinya. Lily meninggalkannya di meja riasnya, menangis saat menanggalkannya. Merasa bendungan air di matanya nyaris tak tertahankan lagi, James menyambar tas sekolanya dan bergegas naik. Dia sudah memutuskan untuk membenamkan diri di balik buku-buku pelajarannya untuk mengalihkan perhatiannya, tetapi tak ada yang bisa mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit yang mencengkeram dadanya.

Lily turun ke Aula Besar, sekali lagi air mata mengaliri wajahnya, tetapi dia tidak mengacuhkannya. Baru ketika dia tiba di pintu Aula Besar, dia mengusapnya sebelum masuk. Sirius, Peter, dan Hestia sudah di sana. Remus mungkin masih di rumah sakit. Hatinya tersentak teringat si manusia serigala, anjing, tikus, dan rusa jantan.

"BUNGA-LILY!" teriak Sirius ceria. "Di mana Prongsie?"

Lily mengabaikannya. Dia mengambil tempat di sebelah Peter. Hestia memandang Lily sekilas, kemudian menoleh pada Sirius, menyuruhnya diam dengan tatapan. Severus, yang tiba bersama Avery sebelum anak-anak Gryffindor, mengawasi Lily dengan ekspresi khawatir. Dia pernah melihat ekspresi itu sebelumnya: itu berarti dunianya sedang kacau. Dumbledore dan para guru lainnya mengamati Lily dengan penasaran, tetapi Lily mengabaikan mereka semua, matanya terpaku pada piring kosongnya. Diuraikannya rambutnya, membuat isakannya lepas lagi dari bibirnya, teringat betapa seringnya James melakukan itu. Bahunya ditepuk seseorang, dan ketika dia mendongak, dilihatnya Alice berdiri di belakangnya, tangannya terulur. Lily menerimanya dalam diam. Alice menariknya dari kursinya. Hestia meninggalkan tempat duduknya dan mendekati Lily.

Flower & Prongs ✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang