Bab 5

132K 7.8K 107
                                    


Rangkaian kata yang bersifat membujuk sudah Kisselle siapkan. Berkali-kali ia mengumpat karena kalimat yang ia susun tidak sesuai kemauannya. Ia hanya perlu meminta izin pada Melda untuk libur beberapa hari selama ia pergi ke Semarang untuk menemui ibunya. Namun rasa tidak enak menyerang Kisselle. Mungkin jika kepada mantan atasannya dulu Kisselle tidak akan serepot ini, ia bisa langsung libur jika memang ia menginginkannya. Namun yang saat ini Kisselle hadapi adalah Melda. Dia wanita baik yang mau menampung Kisselle di toko bunganya meski kemampuan Kisselle jauh dibawah standar pegawai yang baik. Bahkan Kisselle bekerja belum penuh selama 2 minggu. Meminta libur adalah tindakan yang begitu konyol. Kisselle tidak mau kehilangan pekerjaan yang begitu nyaman ini, sulit mendapatkannya.

Tadi malam, Geon mengabarinya lewat pesan. Dia berkata bahwa malam ini setelah Kisselle pulang bekerja dia akan menjemputnya. Pria itu sedang sibuk sampai tidak bisa memberi kabar lewat suara, dia hanya bisa mengandalkan ketikan. Kisselle tidak masalah, sosok Geon masih menjadi teka-teki di hatinya bagi Kisselle. Berdekatan dengannya pun pembawaan diri Kisselle hanya bisa ketus dan sinis. Terkadang Kisselle begitu benci pada Geon hanya dengan mengingat namanya saja, tapi di sisi lain Kisselle begitu berterima kasih. Dia adalah pria yang mau bertanggungjawab atas sesuatu yang bahkan tidak membuatnya untung dan tidak wajib untuk dia pertanggungjawabkan. How gentle he is.

Kisselle berdehem, ini saatnya ia melakukan hasil latihannya semalaman. Kisselle hanya perlu berjalan 5 langkah, Melda ada di sana sedang memeriksa kiriman bunga baru dari pemasok bunga. Dengan gaya serampangannya, Kisselle berjalan dengan bibir menyunggingkan senyuman selebar mungkin. Ia berdiri di samping Melda sambil menaruh kedua tangannya di pinggang. "Bunga baru, ya?" tanya Kisselle tampak sok tahu.

"Hm-mm," jawab Melda hanya bergumam. Bahkan wanita itu tidak menoleh atau sekedar meliriknya.

Seketika kepercayaandiri Kisselle merosot, ia memalingkan muka dan menggigit bibirnya sambil merengut. Ini akan sulit. Kembali berdehem, Kisselle merubah posisi tangannya menjadi bersidekap dada. "Kak, biasanya kalo ngambil libur, gajinya dipotong gak?" tanyanya sedikit meragu namun pada akhirnya bisa mengucapkannya dengan lancar meski suaranya memelan.

Melda memutuskan fokusnya pada buku dan penanya, menoleh menatap Kisselle dengan dahi mengerut. "Kamu kenapa sih? Aku lagi sibuk ditanyain mulu, tuh ada pelanggan," runtuknya.

"Kirain gak sibuk," ujar Kisselle dengan mencibir. Dan Melda membalasnya dengan pelototan seram yang membuat Kisselle langsung menunjukan cengiran konyolnya juga dua jarinya yang diangkat tanda damai. Segera ia berlalu menghampiri pelanggan yang sedang melihat-lihat bunga. Mungkin bukan sekarang waktunya.

Hingga waktu pulang tiba, Kisselle masih setia dengan kegugupannya memikirkan bagaimana cara untuk meminta izin pada Melda. Saat ini wanita itu sedang dalam kondisi suasana hati yang buruk. Sepanjang jam kerja dia tidak mengajak Kisselle berbicara sedikit pun, padahal biasanya Melda selalu mengajaknya mengobrol mengenai banyak hal ketika tidak ada pelanggan. Tapi sekarang? Tidak sama sekali. Atau jangan-jangan Melda sudah tahu niatan Kisselle untuk mengambil libur? Tidak mungkin.

Kisselle menatap ponselnya, menunggu Geon mengiriminya pesan atau sebuah telepon. Ia tidak tahu harus bagaimana kepada Melda. Mungkin Geon memiliki cara yang lebih baik dan lebih bisa diterima oleh Melda. Tapi tak kunjung ada pesan atau telepon. Kisselle menghela napas, menengadahkan kepalanya jengah akan situasi seperti ini. Namun tak lama ia kembali pada posisi semula. Tatapannya jatuh pada Melda yang kini tengah menatapnya di ambang pintu.

Keduanya saling tatap tanpa ada yang mau membuka suara untuk mengawali.

"Berapa hari rencana kamu ngunjungi ibu kamu?" tanya Melda berjalan menghampiri Kisselle lalu duduk di sampingnya.

KISSELLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang