Bab 38

83.2K 5.1K 235
                                    

Geon keluar dari kamar Kisselle dengan berbagai perasaan yang bercampur hingga membuatnya tidak nyaman. Ia senang karena Kisselle memilih untuk ia perjuangkan, namun di lain sisi saat ini ia harus melewati satu lagi pintu yang akan membawanya menuju kemenangan yang sesunggungnya. Geon sudah menyiapkan segala jawaban dari pertanyaan yang mungkin Genta ajukan padanya. Geon juga sudah menyiapkan penjelasan yang sedetail mungkin. Namun, tetap saja meski ia sudah menyiapkannya dengan begitu baik tapi Geon masih merasa bahwa tidak cukup berani. Geon terlalu takut dan gugup. Satu-satunya yang menjadi penguat Geon adalah Kisselle, senyumnya yang masih ingin Geon lihat, tangisnya yang ingin Geon usir, dan sikap pemberontaknya yang tidak bisa Geon pungkiri bahwa itu adalah paket lengkap yang ia dapatkan dari Kisselle. Semua yang ada pada diri Kisselle akan selalu melengkapi hidup Geon, maka ia tidak bisa membayangkan jika harus kehilangannya.

"Ge?" sapa Renold yang sejak pertengkaran selesai duduk sendirian di ruang keluarga dengan bingung. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Geon mengurus Kisselle, Genta pergi entah kemana, Maryam mengurus Vinnie, dan yang terakhir Qeera yang memang sempat mengobrol dengan Renold tapi tidak lama. Qeera pergi karena ada urusan yang harus dia selesaikan, padahal Renold sangat ingin berduaan dengannya karena Renold terpesona akan kesopanannya dan wajah sayunya itu. Sangat memukau.

"Aku pikir kamu kabur," ujar Geon berusaha melucu namun sama sekali tidak ada yang lucu dari perkataannya.

"Ya, jika tidak ada wanita cantik itu aku pasti akan kabur," sahut Renold membalasnya dengan sedikit sinis.

"Wanita yang mana?"

"Kakak iparmu, dia menakjubkan," jawabnya dengan wajah berseri.

Geon mendengus. Tidak mau membahas masalah hati Renold yang sedang jatuh kepada Qeera. Ia tidak mau tahu jika seandainya Renold patah hati karena mungkin saja Qeera sudah memiliki kekasih. "Kamu lihat bapak mertuaku? Aku harus menemuinya," ujar Geon.

Renold terdiam sejenak lalu mengangkat bahu. "Tidak. Menemuinya untuk apa?"

Geon menghela napas, menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dan memejamkan matanya. "Untuk meluruskan masalah," ucapnya masih mempertahankan posisi yang sama.

"Kamu yakin? Apa perlu aku temani?"

Geon membuka mata lalu mengangkat kepalanya dan menatap Renold bingung. "Tentu. Kenapa?" tanya Geon setelahnya kembali memejamkan mata.

"Dia kelihatan seperti malaikat pencabut nyawa. Jika aku menemanimu, setidaknya aku bisa langsung mengurusmu saat kamu sekarat bila sandainya dia menghabisimu," ujar Renold dan Geon terkekeh mendengarnya. Tentu siapapun yang baru melihat Genta akan merasa terintimidasi dan seram melihat bagaimana tegasnya Genta. Saat dalam situasi normal Genta sudah terlihat sangat tegas, apalagi saat kejadian tadi di mana Genta begitu murka, sudah pasti semua orang akan berpikir lagi hanya untuk sekedar mengeluarkan suara. Geon sangat kagum pada Genta yang begitu tegas dan pendiriannya kuat.

"Kalau kamu menemaniku, kemungkinan besar dia juga akan menghabisimu," ujar Geon bergurau.

"Oh? Kalau begitu jangan, aku di sini saja," sahut Renold cepat.

Lagi-lagi Geon terkekeh. Ia menegakan tubuhnya lalu melihat ke sekitar. "Ke mana Vinnie?" tanyanya tidak ada maksud tertentu selain murni karena penasaran karena bagaimana pun juga ia yang membawanya. Dan melihat keadaan Vinnie terakhir kali, Geon yakin dia tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.

"Masih bersama mertuamu. Aku dengar dia menangis."

Dahi Geon mengerut. "Menangis?" tanya Geon semakin penasaran.

"Ya. Entah menangis karena apa, tapi kupikir dia menangis karena lukanya. Istrimu hebat, jika ada waktu luang aku ingin belajar jurus cakaran maut itu. Mengagumkan."

KISSELLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang