Prolog [Revisi]

7.2K 283 32
                                    

"Jika cinta dinilai dari fisik belaka, lantas bagaimana kau mencintai Tuhan yang tak pernah kau lihat rupanya? Jika kamu mencintai seseorang karena fisiknya, tolong renungkan baik-baik. Itu cinta atau hanya kekaguman semata?"

***

Seorang laki-laki yang baru saja membubarkan kelompok tiga untuk beristirahat langsung duduk bersandar seraya melepas penat sehabis mengajar sekelompok siswa dan siswi ajaran tahun baru kali ini.

Rasanya baru kemarin ia yang menjadi peserta MPLS--Masa Perkenalan Lingkungan Sekolah, tapi kali ini ia sudah menjadi pengajar peserta MPLS.

Lelah memang menerpanya, tapi inilah salah satu tanggung jawabnya sebagai salah satu anggota OSIS di SMA Angkasa Jaya. Ia mengelap wajahnya yang kentara sekali terlihat lelah.

"Cape lo, Van?" tanya seseorang dari ambang pintu.

Devano Agriziel namanya, atau lebih akrab disapa Vano itu menoleh ke sumber suara. "Gila aja, hari terakhir MPLS gue cape banget. Mana acaranya masih banyak, anak-anaknya susah dibilangin. Tai emang." gerutunya.

"Lo gak cape gitu, Stev?" tanyanya seraya bangkit dari duduknya.

"Steven Arlano mana ada kata capek," kata laki-laki yang kini menghampiri Vano dan duduk begitu saja di salah satu kursi kosong.

"Yeuuu.... Gue diri elo duduk!" sungut Vano kesal sambil kembali duduk.

Steven mendelik. "Yeu... suka-suka gue lah!"

Setelah itu hening tak ada lagi yang membuka suara. Hanya ada semilir angin yang berhembus diantara mereka membisikkan kata demi kata yang tak terjemahkan. Mereka menikmati keheningan sampai-sampai salah satu di antara mereka memecah keheningan itu sendiri.

"Lo lagi deket sama siapa, Van?" tanya Steven kepo.

"Sama elo." jawab Vano sambil melirik Steven yang memang benar kini posisinya tidak terlalu jauh dengannya, mereka berdekatan.

"Maksud gue bukan gitu pe'a!" sungut Steven kesal. "Lo lagi pdkt sama siapa nih selama elo baru putus dari yang kemaren?"

Vano menghela napasnya. "Belom ada."

"Tumben." Steven mengubah posisi duduknya. "Lo masih pacaran sama cewek atas dasar lo suka fisiknya doang?"

"Kalo bukan fisik karena apa coba? Ketulusan? Cih, bullshit." kata Vano yang tak pernah percaya akan sebuah ketulusan karena selama ini pun ia tak pernah merasakan ketulusan itu sendiri.

"Kalo lo macarin cewek cuma karena fisiknya doang, apa lo mau dipacarin cewek cuma karena fisik lo doang?" tanya Steven sinis.

"Ya enggaklah!" tandas Vano mantap.

"Yaudah! Mangkanya kalo pacaran tuh lo harus beneran mantepin hati lo ke satu orang itu. Cuma bukan sekedar pencuci mata elo doang!" ujar Steven gemas akan kelakukan sahabatnya itu yang kerap kali hanya memacari perempuan hanya karena fisiknya yang aduhai.

"Gue gak tau harus tersanjung apa gimana." celetuk Vano datar tanpa ekspresi.

Steven mendengus. "Kalo lo kayak gini terus kapan lo bisa bener-bener bertahan sama satu cewek? Kalo lo gini terus mana ada cewek yang mau mertahanin hubungannya sama cowok macem elo? Mikir bego!"

"Halahhh! Nanti juga pasti ada kok cewek yang mau mertahanin gue." kilah Vano percaya diri.

"Mertahanin tapi gak dipertahanin balik sakit anjir!"

Vano diam.

Dalam diam ia berpikir bahwa ucapan Steven itu benar adanya.

Jika ibaratkan sebuah hubungan adalah bangunan dan ketulusan sebagai tiangnya. Tapi jika hanya satu tiang yang memiliki ketulusan dan dipertahankan sedangkan tiang yang lain dibiarkan begitu saja. Lantas bagaimana bangunan tersebut jadinya? Hancur.

The Beginning✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang