"Masalah memang kadang lebih enak untuk diceritakan daripada terus-menerus dipendam sendirian."
***
Vina melihat lamat-lamat tiga carik kertas yang ada di tangannya. Matanya menyamakan tulisan yang ada pada potongan kertas itu. Tulisannya sama dan isi surat itu selalu sama dari surat pertama yang ia temukan.
Dear Vina.
Gue peringatin buat lo. Jauhi David atau lo bakalan celaka!
Vina mengadah, berpikir kira-kira kenapa dan siapa dalang dibalik secarik kertas yang selalu ada di kolong mejanya selama tiga hari terakhir ini.
Vina mendesah panjang. "Pusing ah!"
"Mau gue ambilin minyak kayu putih di UKS?"
"Eh?" Vina menoleh, seseorang sedang bersandar ke tiang sambil tersenyum ke arahnya. Terlihat begitu menawan dan untuk menciptakan kesan itu di mata Vina, laki-laki itu sudah mengumpulkan nyalinya semalaman.
"Mau gue ambilin minyak kayu putih di UKS?" ulangnya.
Vina menggeleng. "Enggak usah. Makasih," tolaknya halus.
Vano mengangguk dan memutuskan untuk duduk di samping Vina. Huh, dia harus PDKT dengan ketua kelasnya lagi. Ia rindu. Di samping itu, matanya melihat benda yang sepertinya menganggu pikiran Vina. Tanpa izin, ia pun langung mengambilnya.
"Ini apa?" tanyanya.
Vina mendelik tajam. "Lo apa-apaan sih?!"
"Lo diancam?" Vano menatap Vina dengan tatapan serius. Vina yang semula ingin menyemburkan kekesalannya, jadi menunduk. Sungguh, tatapan Vano yang serius itu begitu membuatnya tak tahan untuk terus menerus memandangnya.
"Jawab, Pau!" gemas Vano sambil menyentuh pundak Vina.
Vina mengangguk pelan. "Udah dari dua hari yang lalu." Katanya.
Vano mendesah pelan. "Kenapa lo gak cerita sama gue?"
Vina spontan langsung menatap Vano meski takut. "Emang lo siapa gue sampe gue harus cerita sama lo?"
Gotcha!
Vano bungkam. Mulutnya kadang berbicara tak pakai otak. Dan kadang otaknya tak berpikir jika status mereka itu apa hingga mulutnya seenaknya membuka suara dan mengucapkan kata-kata yang justru menyerang balik dirinya.
"Ma—maksud gitu gak gitu," ucap Vano sambil tersenyum tipis.
Vina memasang wajah lugunya, "Ya terus gimana maksud lo?" tanyanya menjebak.
Lagi-lagi Vano diam. Ini semua ulah mulutnya yang tidak terkontrol dan perasaan hatinya yang suka lepas kendali saat melihat Vina memiliki masalah seperti ini.
Vina tertawa kecil kemudian meninju pelan lengan Vano. "Kenapa lo?" katanya sambil tertawa.
"Biasa aja kali," katanya dengan nada cerianya seperti biasa.
Vano menggeleng lalu tersenyum tipis. Entah kenapa suasana hatinya jadi mendung seperti ini. Ucapan-ucapan Vina seakan membuat bunga-bunga di hatinya semakin layu tiap detiknya.
"Gue ke kelas duluan ya," pamit Vano.
Namun, belum sempat Vano melangkahkan kakinya lebih jauh. Sebuah tangan lembut telah lebih dulu menahan tangannya hingga kakinya pun secara spontan berhenti melangkah.
"Kan lo udah tau kalo gue diancam, lo gak mau bantu gue gitu?" tanya Vina dengan wajahnya yang terlihat seperti memohon.
Vano terkekeh. "Gue kira lo gak butuh bantuan gue,"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beginning✔
Teen FictionCinta itu sederhana. Sesederhana hujan yang jatuh ke bumi tanpa harus berpikir tempatnya untuk jatuh. Sebab yang rumit itu bukan cintanya, tapi kitanya. Kita yang selalu memikirkan tentang cinta hingga lupa akan sebuah hal. Cinta itu bukan dipik...