13. Sebuah Kenyataan

1.7K 97 2
                                    

"Ketika kaki ingin mengejar namun jalanan telah menunjukkan jalan buntu.Disitulah seharusnya kita sadar bahwa orang yang kita perjuangkan ternyataseperti batu. Keras dan tak memiliki mutu."

***

"Vano!"

"Iya Mah, sebentar!"

"Gak pake sebentar-sebentar! Ayo kesini!"

"Ih bentar Mama!!!"

"KESINI ATAU MAMA POTONG UANG JAJAN KAMU?!"

"ARGHHH!!!" Vano membanting ponselnya ke sembarang arah. Tak peduli ia sedang melakukan push rank dalam game Mobile Legends dan hampir saja dapat mengalahkan musuhnya. Ancaman seorang Mama memang mampu menghentikan segalanya.

The power of emak-emak.

Vano menuruni tangga dengan malas seraya bibirnya yang mengerucut sebal. Belum lagi gestur tubuhnya yang begitu membuat Rani-Mamanya menggelengkan kepalanya.

"Kamu tuh ya, main game melulu. Belajarnya kapan coba?" semprot Rani yang dibalas anggukkan lesu dari anak semata wayangnya.

Rani menghela napasnya kemudian mengusap dadanya, berusaha bersikap sabar menghadapi putra tercintanya ini. Tak lama, Rani duduk di sofa. Pun ia menyuruh Vano untuk duduk. Ada beberapa hal yang ia sampaikan pada putranya itu.

"Kenapa, Mah?" tanya Vano yang menyadari ada sesuatu yang akan dibicarakan oleh malaikat tak bersayapnya itu.

"Mama enggak suka kamu pacaran sama Rulita. Mama mau kamu putus sama dia." ucap Rani to the point yang membuat Vano refleks membulatkan matanya kaget.

"Loh kok gitu sih, Mah?" sambar Vano cepat. Sungguh, apa yang dikatakan oleh Mamanya sangat jauh dari ekepetasinya. Ia kira Mamanya ingin membicarakan masalah sekolahnya. Ternyata dugaannya salah.

"Mama enggak bisa dong ngatur-ngatur soal pacar aku." Sambung Vano tak suka.

Rani mendelik. "Mama bilang gitu tuh ada alasannya." Ketusnya sebal.

Vano menghela napasnya. "Mah, Rulita itu anak baik-baik. Enggak mungkin deh Mama enggak suka. Aku enggak sembarangan nembak anak orang tanpa aku tau latar belakangnya gimana. Mama tau kan kalo-"

"Nih!"

Ucapan Vano terpotong karena Rani menunjukkan sebuah foto Rulita sedang merokok di sebuah cafe dengan begitu santainya. Rahang Vano mengeras sekaligus merasa malu karena ia merasa tertampar oleh kata-katanya sendiri.

"Ini yang kamu sebut anak baik-baik? Ini yang kamu sebut kamu enggak pernah salah pilih? Nyatanya pacar-pacar kamu itu selalu aja ketauan sama Mama kalo mereka itu anak gak bener." ujar Rani setelah menarik ponselnya kembali dan menyimpannya.

"Itu pasti bohongan kan, Mah?" tanya Vano seraya menatap manik mata Mamanya, berusaha mencari secercah titik yang mengatakan bahwa foto itu adalah palsu dan editan belaka.

Namun, nihil.

Vano menunduk malu dengan mulut membisu tak mampu lagi merangkai kata yang setidaknya bisa menjadi kalimat pembela atas foto yang masih ia tidak percayai kebenarannya.

"Mama enggak mau kamu pacaran sama Rulita itu. Mama mau kalian putus. Kalo sampe kalian balikan, semua fasilitas kamu Mama ambil selama sebulan. Inget itu." putus Rani sesaat sebelum meninggalkan Vano dan masuk ke dalam kamarnya.

Sungguh, ia hanya bermaksud bahwa ia ingin yang terbaik untuk anaknya.

Vano menghela napasnya.

Yang sakit itu bukan putus cinta. Tapi, ketika kita harus putus tapi masih cinta.

The Beginning✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang