"Jangan diam saja ketika sudah tahu. Jangan banyak tingkah jika tak tahu. Kadang manusia punya pikiran tapi tidak punya otak."
***
Hujan sepertinya betah membasahi jalanan dan menghambat aktivitas beberapa orang. Gumpalan awan kelabu pun tampaknya begitu setia menemani hujan yang membuat beberapa orang mengeluh sebal karenanya. Meski begitu, hujan itu cukup indah bagi sebagian orang.
Ada yang bilang, hujan itu satu persen cairan, sembilan puluh sembilan persen kenangan. Benarkah?
"Bocah," gumam Steven setelah melirik sekilas sahabatnya yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Vano mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Sesekali ia bersenandung dengan bibir tersenyum. Meski di luar sedang hujan dan udara terasa dingin, laki-laki dengan perut menggoda itu lebih memilih untuk tak memakai baju, alhasil memerlihatkan enam roti sobek yang indah di sana.
"Aku tidak tergoda, Mas," ucap Steven sambil tersenyum menyeringai.
Duk!
"Najis!" ujar Vano seusai melempar handuk yang sedang ia gunakan ke arah Steven.
Steven tertawa lalu mengerlingkan sebelah matanya. "Tapi... kamu sayang, kan?"
"JIJIK WOI!!!" seru Vano geli.
Steven terkekeh geli melihat Vano yang saat ini melihatnya dengan jijik. Memang ya, temannya ini penyuka wanita sejati. Buktinya tidak bisa diajak menjadi homoannya. Idih najis!
Vano bergidik ngeri melihat 'si Mata Empat' yang kini melihatnya dengan seringaian jahat. Orang baik harus menjauhi setan, pikirnya. Lalu, ia pun duduk di dekat jendela kamarnya. Meski hujan, ia tetap membuka jendela tersebut.
Baginya hujan itu menyenangkan.
Sedang asyik-asyik menikmati hujan sambil mengingat kejadian di lapangan sekolah beberapa waktu lalu, Steven membuka suara yang membuat semua lamunan yang tercipta dalam dunia Vano buyar seketika.
"Lo tuh sama Vina gimana, Van?"
"Haaa?" Vano terkesiap. "Yaaa... gimana ya?"
Steven mendecakkan lidahnya. "Lah? Kok nanya balik?"
"Gue juga bingung," aku Vano jujur.
"Kok lo bingung?" Steven heran. "Lo tuh cowo, harus bisa mengambil keputusan. Masa iya lo gak bisa mutusin lo sama Vina mau kayak gimana? Niat gak sih lo jadi cowok? Jadi cowok kok ragu-ragu. Burung lo gue kebiri sini!" lanjutnya dengan gemas.
Vano mendelik. "Gak usah bawa pusaka gue dong, Nyet! Mentang-mentang baru sunat lo!"
"Idih!" Steven balas mendelik. "Lo sama gue duluan gue bego sunatnya. Lo kan mau sunat gara-gara liat punya gue udah ada topinya. Gak inget?" tanyanya.
Vano mengangguk. "Eh iya," katanya lalu menyengir lebar.
"Lah? Kok bahas ini sih?" Vano baru sadar beberapa detik kemudian.
Steven terkekeh. "Oke. Ayo fokus. Lo cowok, kudu bisa mengambil keputusan. Jangan ragu-ragu karena cewek itu butuh kepastian bukan sekedar omongan yang isinya cuma basa-basi doang!"
Vano menghela napasnya. "Gue bingung, ngerasa gak pantes, dan takut."
"Bingung karena gue dan Vina sama-sama abu-abu."
"Ngerasa gak pantes karena... ya lo mikir aja. Cowok bangsat kayak gue apa pantes sama cewek baik-baik kayak Vina? Gue terlalu bejat untuk dia yang selalu dapet jumum, Stev."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beginning✔
Teen FictionCinta itu sederhana. Sesederhana hujan yang jatuh ke bumi tanpa harus berpikir tempatnya untuk jatuh. Sebab yang rumit itu bukan cintanya, tapi kitanya. Kita yang selalu memikirkan tentang cinta hingga lupa akan sebuah hal. Cinta itu bukan dipik...